Masih dengan terisak-isak, Ana mencoba bangkit berdiri. Ternyata dirinya menabrak seorang cowok yang juga memakai seragam putih abu-abu seperti dirinya. Ana merasa tak asing dengan orang yang ditabraknya. Tapi siapa, Ana tak bisa menjawabnya. Memori otaknya tak bisa mengingat dengan suasana hati yang buruk seperti ini.
"Kalo jalan liat-liat dong!" bentak cowok yang ditabrak Ana.
Ana hanya bisa terisak-isak dan semakin terisak-isak. Sakit hatinya semakin dalam karena bentakan dari cowok yang tak dikenalnya itu. Disaat dia sedang terluka kenapa orang yang tak dikenalnya pun ikut memperlakukannya dengan kasar.
".........," Ana hanya bisa terdiam dan menatap cowok yang ada di depanya dengan pandangan berkaca-kaca.
"Cengeng banget sih, ketabrak gini aja pake nangis segala." Cowok itu kembali membentak Ana.
"Kamu jahat," teriak Ana dan langsung lari meninggalkan cowok yang ditabraknya. Ana membenci cowok yang yang ditabraknya karena tak bisa memahami keadaanya. Cowok itu hanya bisa memandang kepergian Ana dengan rasa bersalah karena sudah membuat Ana menangis.
Ana duduk di sebuah bangku yang masih kosong, cowok yang menabraknya tadi masih memperhatikan Ana dari jauh. Sepertinya ada keinginan untuk meminta maaf tapi ada sedikit keraguan dan keengganan. Akhirnya setelah beberapa saat menatap Ana yang masih terisak-isak, cowok itupun pergi meninggalkan taman.
Setelah puas melampiaskan kesedihannya, Ana pun beranjak dari bangku taman. Sudah tak ada air mata dan isak tangis. Hanya wajah murung dan sedih yang kini menggantikan. Ana berjalan perlahan menuju pintu keluar taman. Rasanya enggan untuk pulang dan harus bersikap ceria di depan Papa atau Elen. Ingin rasanya Ana pulang ke rumah mama atau pergi ke rumah Jessie saja. Tapi itu akan membuat papa semkin khawatir. Dengan berat hati Ana memutuskan unutk segera pulang. Sejak tiba dari taman, ponsel Ana selalu berbunyi. Ada telpon dari Elen. Ada puluhan missedcall dari Elen. Ana sama sekali tak memiliki keinginan untuk menjawab telepon dari Elen.
"Dari mana saja An?" Elen langsung mengahampiri Ana yang baru saja turun dari taksi. Ana hanya diam saja. "Tante nyari kamu kemana-mana. Di sekolah kamu nggak ada. Telpon tante juga nggak kamu jawab. Jangan buat tante khawatir dong An."
"Ana capek, Tant. Ana pengen istirahat," jawab Ana kalem sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Elen mengikuti Ana sampai ke kamarnya. Elen benar-benar khawatir melihat keadaan Ana sekarang. Wajah pucat, mata sembab, dan tak ada semangat sama sekali.
"Kamu kenapa, An?" Elen duduk disamping Ana dan merangkulnya.
Ana hanya bisa terisak. Elen tak memaksa Ana untuk menjawab pertanyaannya. "Maafin tante ya, An karena sudah marah-marah sama kamu."
Ana memeluk Elen. Ini pertama kali Ana mau memeluk Elen sendiri. Elen mencoba menenangkan Ana. Elen tahu ada sesuatu yang tidak beres sejak beberapa minggu yang lalu. Dan sekarang kekhawatirannya terjawab sudah. "Kamu putus dari Rafa?"
Ana mengangguk. "Tante kok tahu kalo aku pacaran sama Rafa?" Elen hanya tersenyum.
"Tante kan juga pernah muda, An," Elen mengusap-usap kepala Ana dengan sayang.
"Tante jangan bilang ke papa ya, Ana nggak mau papa khawatir lagi. Ana janji, Ana akan mengatasi semua ini dengan baik." Ana memohon kepada Elen dengan terisak-isak.
"OK. Sekarang ini menjadi rahasia kita. Sekarang kamu mandi. Setelah itu makan. Mulai besok Tante yang akan nganter dan jemput kamu lagi." Elen menatap Ana dengan sayang dan ikut terluka melihat Ana terluka saat ini.
"Makasih ya, Tant....," Ana tersenyum tipis.
"Kenapa kamu putus An?" Elen bertanya ingin tahu penyebab Ana terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Datang (Completed)
Genç KurguSaat hati Ana patah, Ana bertemu dengan Daniel. Cowok yang menyebalkan dan selalu membuat hari-hari Ana menjadi semakin buruk. Tetapi disisi lain, Daniel selalu ada saat Ana menangis. Daniel selalu membantu Ana saat Ana mengalami masalah. Akankah D...