Awal Rasa Sakit

52 3 0
                                    




       “Embun… bangun nak, mama sudah membuatkan sarapan untukmu, papa dan adik juga sudah menunggu di bawah, ayo turun dan sarapan.” Suara lembut ibu membangunkanku dari bunga tidur yang mengerikan itu lagi. Mungkin lama-lama aku akan terbiasa dengan mimpi buruk itu. Mimpi yang harusnya kuanggap sebagai bunga tidur, tapi ada sebagian dari mimpi buruk itu terjadi dalam kehidupan nyataku.

        Aku langsung turun dari tempat tidurku, menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidurku. Perasaanku terasa sakit, aku tidak tahu harus bagaimana? Sakit ini tidak mau hilang. Pikiranku melayang entah kemana.

      Setelah mandi, aku bergegas turun dan menjumpai keluargaku di meja makan. Aku langsung mencium pipi Ibuku sambil mencomot gorengan yang baru selesai ia goreng. Ibu hanya tertawa melihat tingkah anaknya yang satu ini. Sedangkan addikku dan ayah sudah memasang muka masam. Aku tahu kalau keterlambatanku selalu mereka benci. Meskipun begitu aku cuek dan pura-pura tidak membuat kesalahan. Mereka hanya diam dan kami melanjutkan makan pagi.

      Suasana keluarga kami sangat menyenangkan. Ayahku adalah seorang pengusaha terkenal berbasis bisnis properti, sedangkan ibuku adalah akuntan publik ternama yang dipercaya oleh berbagai perusahaaan terkemuka di Indonesia. Aku tahu mereka sangat sibuk, mungkin tidak akan sempat mengurus anak- anaknya.

      Namun, semua berubah semenjak kejadian itu menimpaku. Sekarang kami mempunyai jadwal bina keluarga. Itu, kami lakukan setiap sabtu sore. Jadi, semua harus meluangkan waktunya setiap sabtu sore, tidak peduli sesibuk apapun kami.

     Aku sekarang duduk di kelas tiga SMP semester akhir, tak terasa sebentar lagi aku akan lulus dan memasuki dunia SMA. Dunia yang kutunggu sekaligus mendebarkan di dalam hidupku. Adikku masih duduk di bangku sekolah dasar. Walaupun begitu kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Karena kami bersekolah di tempat yang sama, Sekolah Asri Permai internasional school yang terletak di pusat kota. Sekolah ini adalah sekolah untuk jenjang SD dan SMP. Sekolah yang cukup populer bagi kalangan atas.

        Soal panggilan ibu dan ayah, itu pasti terkesan kampungan bagi kalangan atas. Tapi untuk keluarga kami itu adalah panggilan yang di inginkan nenek kepada cucu-cucunya. Nenek ingin kami memanggil ayah dan ibu bukan mama papa atau mami papi, yang dilakukan anak-anak kalangan atas lainnya.

           Beliau juga selalu menasehati kami agar kekeh dengan ilmu padi. Semakin berisi semakin merunduk. Karena di atas langit masih ada langit. Jangan sombong sehebat apapun kita, tetaplah berbagi dan rendah hati.

    “Embun, sudah siap sarapan paginya,mau ayah antar atau sama supir? Ali ikut sama ayah. Kalau mau sama ayah cepat makannya, ayah buru-buru.” Suara ayah terdengar sangat tergesa-gesa. Aku tahu ayah sangat sibuk, apalagi ini hari senin. Permulaan hari, jadi ayah harus mengkoordinir para anggotanya. Untungnya kali ini aku cukup tau diri.

     “Embun ikut ayah, ia Embun udah siap kok makannya.” Jawabku singkat. Lagi-lagi Ali Fitrawan, adikku yang satu itu benar-benar super cepat dan tepat,dasar perfectionist. Umpatku dalam hati. Langsung aku menyalam dan mencium tangan ibu, lalu bergegas menuju mobil yang sedari tadi sudah berbunyi klakson.
*****

     “Oke… sudah siap? Ayo berangkat!” Ucap ayah pada kami berdua. Sepanjang perjalanan ayah bercerita tentang kantornya, hal yang biasanya membosankan dan sangat dibenci oleh anak- anak. Tapi, adikku sangat berbeda, ia sangat menyukai  hal itu. Kalau aku hanya mengangguk tanda mengerti, aku jauh lebih suka dengan hal yang berbau politik. Bagaimana para pejabat pemakan uang rakyat dapat berguna bagi rakyat? Sungguh menggelikan.

        Dan aku sangat menyukai kritikan pedas pada kolom opini di surat kabar. Terutama, kritikan tentang kebijakan pemerintah yang masih saja menyusahkan rakyat.
  “Akhirnya kita sampai. Ali, Embun yang bagus sekolahnya ya! Banggakan ayah dan ibu.” Ayah selalu memberi kata nasehat sebelum meninggalkan kami, sungguh kebiasaan yang sangat aku sukai. Ayah langsung mencium kening Ali dan saat ia hendak mencium keningku, tanpa sadar aku langsung menjauh darinya menunjukkan ekspresi takut.

     Ayah tersadar dan meminta maaf padaku. “Tidak apa-apa Embun, kau akan baik-baik saja, nanti pulang sekolah jangan lupa temui dia! Oke?” Suara ayah tetap terdengar lembut, walaupun ada tersimpan nada kecewa di dalamnya. Maafkan anakmu ini ayah. Kejadian gila itu membayangiku lagi.








GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang