Hari Baru

10 2 0
                                    


" Sudahku putuskan, kita akan masuk SMA Satya Wacana. Gimana Embun, Thefani?" tanya Rizky pada kami. " Aku setuju, menurut referensi yang kubaca sekolah ini sangat bagus dengan akreditasiA." Ucapku sekaligus memaparkan mengenai sekolah itu. " Ada tesnya gak?" Sahut Thefani.

" Ada, test tulis dan wawancara yang harus kita hadapi sebelum masuk sekolah ini." Aku mencoba memaparkan secara lebih detail. Akhirnya kami menyetujui usul mencoba sekolah ini. " Yasudah, ayo kita jalan- jalan ke sekolah ini. Sekalian lihat- lihat gedung sekolahnya." Usul Thefani pada kami. " Sekalian aja kita mendaftar untuk testnya, sudah dibuka kok pendaftaran testnya." Ucap Rizky dengan semangat. " Itu ide bagus, kita bisa menyiapkan seluruh berkas yang dibutuhkan dahulu." Ujarku yang juga ikut bersemangat.

Kami akhirnya memutuskan menyiapkan berkas yang disyaratkan untuk pendaftaran. Setelah siap, kami berangkat menuju sekolah Satya Wacana. Sesampainya disana, kami langsung ke bagian administrasi. Untuk melakukan pendaftaran.

" Syukurlah sekarang sudah siap tahap pertama." Ucap Thefani yang merasa lega. " Ayo kita berkeliling sekolah sebentar. " Ajak Rizky pada kami. Aku sedikit takut dengan usul itu, terlebih lagi anak SMA nya masih berada di sekolah. Ini belum jam pulang mereka. " Ayolah, kitakan hanya berkeliling." Bujuk Rizky pada kami. " Iya aku aja yang gak daftar sekolahnya mau keliling." Ucap Adit yang baru bersuara. Dari tadi dia hanya diam dan mengikuti kami.

Sepertinya kalau hanya berkeliling tidak akan menjadi masalah. Kami sepakat untuk berkelliling sebentar, lumayan melihat gedung sekolah. Sepanjang perjalanan banyak anak SMA yang kami jumpai. Karena segan kami mencoba menyapa. Nantinya mereka akan menjadi kakak kelas kami.

Lagi- lagi diriku tak mau diajak bekerja sama. Setiap kali berpapasan dengan anak cowok, aku langsung gemetar. Bahkan sampai ketingkat mual dan ingin muntah. Untungnya ada Thefani yang selalu menggandeng tanganku. Adit dan Rizky berjalan di depan kami. Syukurlah mereka tidak melihat tingkahku yang aneh.

" Maaf, aku tidak sengaja." Seseorang menabrak bagian samping bahuku. Sontak aku terkejut dan langsung menjauh dari orang itu. Kulihat sekilas wajahnya, aku seperti pernah melihatnya. Kurasakan ketakutan melingkupi diriku. Secara spontan kutarik tangan Thefani dan mengajaknya berlari sejauh mungkin untuk menghindari orang tersebut.

Rizky dan Adit yang berada di depan heran melihat kami yang sudah beberapa langkah berlari di depan mereka." Embun, Thefani tunggu...kalian mau kemana?" teriak Adit pada kami. " Embun kamu kenapa sih, Kita mau kemana kok buru- buru?" Thefani juga heran dengan sikapku yang mengajaknya berlari tiba- tiba.

" Maafin aku Fan, kita bisa cari toilet dulu? Aku kebelet banget nih." Ucapku untuk menutupi rasa takutku. " Ya elah, aku kira kenapa..kebelet toh?" thefani tampak lega sekaligus jeolaous melihat tingkah aneh temannya yang satu ini. " Maaf ya..." aku hanya tersenyum padanya. Maafkan aku Thefani, aku tidak bisa memberitahukan yang sebenarnnya padamu. Cukup saja kamu tahu kalau aku benci laki- laki. Aku takut kamu akan menjauhiku, kalau tahu aku pengidap penyakit psikologis yang aneh.

Selama beberapa menit kami di toilet. Untungnya bel di sekolah telah berbunyi. Menandakan siswanya harus segera masuk ke kelas. Sekarang aku aman dari perjumpaan dengan laki- laki yang tidak aku kenal. Tapi, aku tahu siapa yang tadi menabrakku. Aku mengenalnya, ingatan yang selalu menyiksaku masih tergambar jelas. Apa mungkin itu dia? Aku harap aku hanya menghayal. Ini pasti hanya ketakutan belaka.


***

" Embun, Thefani, kalian dari mana saja? Kami mencari kalian dari tadi." ucap Rizky dengan nada khawatir. " Biasa masalah perempuan, kami pergi mencari toilet tadi." Ucap Thefani dengan sangat jujur. " Maaf ya, jadi membuat kalian khawatir." Aku menimpali dengan senyum yang kubuat- buat agar mereka tidak curiga dengan kondisiku. Yang kurasakan sekarang adalah detakan yang kuat di jantungku. Tidak hanya itu sebenarnya, tangan dan kakiku juga bergetar hebat." Disini panas ya...aku jadi berkeringat." Aku mencoba membuat alasan agar mereka tidak curiga dengan peluh yang sudah membasahi permukaan hidung dan keningku.

GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang