Dari Awal

22 3 0
                                    



     Setelah ayah kembali selepas menemui dokter, aku menanyakan bagaimana keputusan dokter. Ayah bilang  aku sudah boleh pulang kalau merasa benar- benar sudah pulih. Ku pikir aku tidak terlalu lemah, jadi hanya karena masih sedikit pusing tidak akan membuat diriku berlama- lama tinggal di rumah sakit ini. Aku sempat heran, masa hanya jatuh saja membuat kening dan lututku berdarah, bahkan aku sampai pingsan. Tapi, sudahlah tak pantas aku terus mengeluh. Mungkin Allah punya jalan untuk memberikan cobaan pada hambanya.

           Aku langsung meminta agar bisa segera pulang ke Jakarta. Ayah dan ibu pun menyetujui hal itu. Kami pulang bertiga dengan mobil yang dibawa ayah ke Jakarta.Selama di perjalanan aku hanya tidur di bangku tengah mobil.

       “ Embun, bangun nak kita sudah sampai.” Kata- kata ibu menyadarkanku. Aku sempat bermimpi bahwa Kak Danang akan datang menjemputku. Aku merasa ada yang kurang kalau dia tidak ada untukku di saat- saat seperti ini. Walaupun cepat atau lambat aku harus bisa mandiri dan tidak bergantung padanya lagi.

        Aku masuk ke rumah dibantu oleh ayah. “ Ayah tidak kerja hari ini?” Tanyaku pada ayah. Biasanya ayah selalu sibuk dengan pekrjaan bisnis propertinya. “ Tidak, ayah sudah minta pegawai ayah mengurusnya. Sudah, tidak usah memikirkan hal itu! Yang terpenting sekarang adalah anak ayah.” Ucap ayah yang membuatku terharu, hampir saja aku meneteskan air mata. Teringat kalau aku masih takut kepadanya. Bahkan sekarang aku memegang tangannya dengan menggunakan lapisan selimut dan syal yang tadi kubawa dari mobil. Maafkan aku ayah, kalau saja si penjahat itu tidak ada hubungan dengan keluarga kita, aku pasti tidak akan takut padamu.

    Ku baringkan tubuhku di atas tempat tidur kamarku. Entah kenapa aku merasakan perasaan yang sangat tidak enak. Bagaimana caraku menghilangkan ini? Kucoba memejamkan mataku, tapi tetap aku tak tenang, apalagi untuk bisa tertidur. Ku lirik ponselku” Astaga…” Aku terkejut melihat pemberitahuan telepon dan sms di ponselku, belum lagi notifikasi dari line dan facebookku.

       Banyak sekali teman- teman yang menanyakan kabarku. Mereka bahkan sampai membuat status untukku. Aku benar- benar tidak habis pikir, padahal kan aku hanya tidak hadir satu hari. Pasti Thefani yang membuat kehebohan ini.

      Kulihat semua pesan dan telepon. Rizky, Rizky, dan Rizky. Banyak sekali dia meneleponku. Aku mencoba mencari yang lain, mana tahu Danang mencoba menelepon. Tapi, tetap tidak ada kulihat kontak yang bertuliskan  Danang. Aku kecewa, apa dia melupakanku dan asyik jalan sama Ms. Dian? Hatiku masih sakit memikirkan hal itu

      Ku coba memberanikan diri menelepon Rizky, sekedar menyapa tidak akan membuat penyakitku kambuh, apalagi hanya dari telepon.” Halo, ini Embun? Bagaimana kabarmu, aku sanagat khawatir Embun.” Terdengar langsung suara Rizky yang seperti anak mau ditinggal ibunya. Aku sempat tertawa mendengar nada suaranya yang berlebihan . “ Halo Embun, aku serius. Kamu malah tertawa, atau jangan- jangan ada yang bermasalah sama sarafmu? Aku boleh menjenguk kamu tidak?” Tanya Rizky yang benar- benar polos.

  “ Bagaimana aku tidak tertawa mendengar nada bicaramu yang berlebihan Riz? Aku baik- baik saja kok.” Ucapku padanya, sekaligus menjelaskan keadaanku. “ syukurlah… aku benar- benar mengkhawatirkanmu Embun.” Ucap Rizky yang sejenak menenangkan perasaanku. Aku bercerita cukup lama padanya. Tentunya tetap dengan hati- hati agar tidak membuatnya sakit hati dengan penolakanku untuk bertemu langsung dengannya.

    “ Tidak papa, kamu gak usah menjengukku. Ku pastikan aku besok mauk sekolah.” Ucapku padanya mencoba mengelak untuk menemuinya. “ Ya sudah, tapi jangan pernah lari kalau ada aku ya di sekolah. Kalau kamu takut bertemu berdua denganku, boleh ajak Thefani deh.” Rizky mencoba memberi solusi atas keengganan ku bertemu dengannya.

     “ Tapi, tidak untuk minggu ini ya Riz, kumohon jangan tanyaalasannya. Kita juga kan minggu depan ujian akhir, jadi harus fokus ia kan?” aku mencoba mengelak darinya. “ Ya sudah tidak papa, begini saja aku sudah senang kok, kamu berarti tidak membenciku dengan mau menelepon aku, sampai besok ya bye.” Ucap Rizky sebelum mengakhiri teleponnya. “ Bye…” balasku kepadanya. Setelah itu aku langsung tidur untuk melepas penatku.

   “ Good morning, great day for me” ucapku saat membuka mata, tentunya setelah aku selesai berdoa. Aku langsung mengambil wudhu untuk sholat subuh, sekaligus memanjatkan doa pada yang maha kuasa. Kemudian aku bersiap untuk mandi dan berpakaian.

GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang