Bertemu

18 2 0
                                    

        “ Mbak Embun, jadi ke tempat dokter Danang?” Ucap pak Sapto yang mebuyarkan lamunanku. “Oh, iya pasti jadilah pak.” Jawabku bersemangat. Momen bertemu dia, selalu jadi hal yang paling ku tunggu. Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di rumahnya sekaligus tempat prakteknya. “Kita sudah sampai non.” Ucap pak Sapto sembari membukakan pintu mobil untukku. “Terima kasih Pak. Bapak boleh pulang duluan aku lama disini sama dokter Danang.”

      “ Baiklah non, tapi non Embun kalau udah mau pulang telepon Pak Sapto aja ya, biar nanti bapak jemput. Jangan minta dianterin dokter Danang, nanti ngerepotin lagi.” Ucap Pak Sapto dengan sopan. Walaupun seperti sedang memerintah anak kecilnya. Tak apalah, aku suka ada yang memerhatikanku. Karena mereka pasti menyayangiku. Seperti Pak Sapto yang sudah menjadi supir di keluarga kami semenjak aku lahir sampai sekarang. Ia adalah orang yang jujur dan setia. “ Siap Boss..” ucapku penuh canda. “ Iya..non Bapak berangkat ya, mau nganter den Ali les biola.” Langsung Pak Sapto memacu mobilnya meninggalkanku di depan gerbang rumah dokter Danang. Aku pun tanpa ragu langsung masuk ke dalam rumahnya.

                  Aku mempunyai banyak panggilan untuknya, tergantung kondisi dan situasi. Dalam suasana formal aku memanggilnya dokter Dan, Dalam acara liburan aku memanggilnya oppa Dan, dan dalam posisi murid dan guru aku memanggilnya Pak Dan. Dia juga berkata aku bisa memaggil namanya langsung”Danang”. Itu panggilan yang ku sukai, karena aku merasa sepantaran dengannya. Itu ku lakukan saat hanya ada kami berdua dalam pembicaraan atau acara nonton mingguan kami berdua.
                  Aku sangat suka saat berjalan dengannya. Orang- orang, terutama wanita selalu memperhatikan kami, tepatnya dia. Siapa yang tidak tertarik dengan ketampanannya. Tatanan rambut yang selalu rapi, baju kemeja atau t-shirt yang selalu bermerek dan harum badannya yang sangat khas. Serta ukuran badan yang proporsional. Aku sangat senang saat berada di dekatnya. Aku bahkan tidak merasakan ketakutan apapun, sebaliknya aku merasa sangat nyaman berada di dekatnya.
                Sayangnya orang- orang menganggap aku hanya adik kecilnya. Padahal, aku sudah berdandan sedewasa mungkin saat jalan dengannya. Entah apa yang kupikirkan, aku merasa kecewa saat dia selalu menganggapku adik kecilnya. Lihat aja nanti, aku akan tumbuh menjadi lebih dewasa dan cocok untuk berada di sampingnya. Terserah jadi apa, asal jangan menjadi adik kecilnya lagi. Hatiku yang terdalam menginginkan lebih dari itu.

               “Danang, aku datang” Kumasuk ke dalam ruang kerjanya dan langsung memeluknya  erat. Layaknya seorang adik yang memeluk kakaknya sendiri. Kalau dilihat memang benar sih.. tinggiku saat ini hanya sedadanya.
Seperti tidak melihatnya selama setahun, aku benar-benar memeluknya erat. Padahal aku baru bertemu dia dua hari yang lalu. Aku tidak tahu kenapa, tapi saat memeluknya aku merasa semua energiku yang hilang kembali. Tidak ada rasa takut, tidak ada peluh yang keluar, hanya sedikit degup jantung yang berdetak lebih kencang. Tapi detakan kencang yang terasa sangat menyenangkan. Aku suka seperti ini.
              “Ehm… berapa lama lagi kita seperti ini San?” ucap Danang yang menyadarkanku bahwa aku sudah memeluknya lebih dari lima belas menit sejak kedatanganku. Kulepas pelukanku, dan dia mengelus lembut rambutku. Danang memanggilku San, terkadang Cassandra. Aku sangat suka panggilan itu, bagaikan aku matahari baginya.
             “Bagaimana harimu di sekolah, Menyenangkan?” dia selalu menanyakan keadaanku dan kabarku untuk memulai percakapan kami. Aku akan menceritakan berbagai pengalamanku saat dia telah bertanya seperti itu. Sembari kami berjalan menuju ruang istimewanya, saat akan mendengarkan cerita semua pasiennya. Orang menyebut ruang terapi pengobatan.  Dan aku menyebut ruang istimewa kami berdua.

                   “Dan banyak yang terjadi satu hari ini. Aku sangat lelah mengingatnya.” Ucapku padanya, aku berjalan menuju sofa hijau di sudut ruang dekat jendela. Aku duduk di sofa dan bersandar, serta melihat sekeliling ruangannya yang selalu tampak bersih dan rapi. “Bagaimana kalau kita keluar dan makan es-krim? Setelah itu kamu dapat menceritakan semuanya.” Ajaknya padaku. Tentu tanpa pikir panjang aku langsung menyetujuinya.
                   Makan es-krim dan bercerita sepanjang hari adalah kegiatan yang sering  kulakukan dengannya. Wajar saja karena, kedai es-krim itu hanya terletak di depan rumahnya. Sekitar 8 langkah dari rumahnya. Kedainya memang tidak terlalu besar, tapi cukuplah untuk ukuran sebuah kedai es- krim yang unik. Ornamen dalamnya yang bertajuk Italia dengan berbagai pot bunga gantung yang di tata rapi, sehingga terlihat indah oleh mata yang memandang.
                    “San, kamu mau es-krim rasa apa?’ Tanya Danang padaku. “Kak aku mau yang biasa aja.” Jawabku singkat sembari melihat tatanan toko yang tak bosan- bosannya membuatku takjub. Oh, iya selain itu, aku juga biasa memanggilnya dengan sebutan “kak” kalau sedang pergi jalan dan ada banyak orang di sekitar kami. Ya… biar akunya terkesan sopan sama yang lebih tua.


GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang