POL : Four

75 2 0
                                    

"Assalammualaikum" salam Arfa seraya membuka knop pintunya lalu memasuki rumah yang terlihat sederhana. Sederhana namun nyaman bagi Arfa untuk ia tempati bersama Ayah, Bunda beserta kakak satu-satunya yang ia sayang.

Tidak ada sahutan sama sekali membuat Arfa menyengritkan dahinya bingung. Tapi ia tetap mencopot sepatunya dan ia taruh di rak sepatu yang sudah di sediakan di halaman rumahnya.

"Kok sepi? Bunda mana?" gumam Arfa sambil menjalankan kakinya menuju dapur. Entah kenapa tiba-tiba tenggorokkannya terasa kering membuatnya ingin sekali ia basahi dengan air dingin yang berada di lemari pendinginnya.

Ketika sampai di dapur, Arfa langsung mengambil gelas lalu menuju kearah lemari pendingin untuk mengambil air yang berada di botol yang akan ia tuangkan di dalam gelas nantinya.

"Ah.... segarnya" desahnya saat air dingin itu telah masuk kedalam tenggorokkannya.

"Loh? Adek udah pulang ternyata. Makanya tadi Bunda di depan nemuin sepatu fantofel milik adek" ucap seseorang wanita paruh baya di balik punggung Arfa membuat Arfa menaruh gelas di atas meja makan lalu membalikkan tubuhnya untuk menghadap wanita itu.

"Bunda" ucap Arfa seraya berjalan menghampiri Bundanya lalu menyalimi punggung tangan Bundanya. "Bunda kemana aja?"

"Bunda tadi habis nganterin loundry-an tetangga"

Arfa menghela nafasnya dan tiba-tiba mukanya menjadi sedih dengan pandangan mengarah ke Bundanya.

"Bunda pasti capek ya? Habis nyuci baju loundry-an banyak terus dijemur belum juga disetrika dan tambah lagi dianterin satu persatu ke orang yang titip loundry-an" ucap Arfa dengan nada sedih. "Maafin Arfa ya Bun? Arfa udah ngerepotin Bunda sama Ayah selama ini. Maafin Arfa yang belum jadi anak yang berbakti sama Bunda sama Ayah. Arfa anak yang nyusahin sama orang tua. Maafin Arfa gara-gara penyakit Arfa Bunda jadi bekerja kayak gini"

Bunda Arfa tersenyum tulus mendengar cerita Arfa tentang dirinya dan juga suaminya yang telah capek banting tulang demi mencari biaya untuk pengobatan Arfa.

"Gak papa sayang, semua perjuangan Ayah sama Bunda gak sia-sia selama ini karena kamu..." ucap Bundanya menjeda sebentar sambil menoel hidung mancung Arfa. "Karena kamu masih bertahan dan masih disamping Bunda sama Ayah"

Arfa tersenyum. Tak terasa bulir air matanya jatuh membasahi pipinya mengingat perjuangan yang dialami kedua orang tuanya untuk membuatnya tetap bertahan disisi mereka. Dan perjuangan mereka terbayarkan karena Arfa bisa bertahan hanya saja tidak lama sebelum pendonor ginjalnya datang dan ia segera melaksanakan operasi itu.

"Makasih Bun, Arfa janji akan selalu disamping Bunda. Arfa gak akan kemana-mana. Nanti setelah ada pendonor ginjal buat Arfa, Arfa akan jaga sebaik mungkin kesehatan Arfa biar bisa sama Bunda terus"

"Anak pintar. Gitu dong, Bunda kan jadi semangat kalau kerja"

"Sama Bun. Arfa juga tambah semangat hidup kalau kayak gini"

Bundanya tersenyum menanggapi  ucapan Arfa yang penuh semangat sambil tangannya mengusap lembut rambut Arfa dan mengusap sisa bulir air mata Arfa yang berada si pipinya telah sedikit mengering.

"Yaudah gih sana kamu ke kamar, istirahat" suruh Bundanya.

Arfa menganggukkan kepalanya, "iya Bun. Sekali lagi makasih ya?"

Bundanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya, "Iya"

×××

Keesokan paginya Arfa berjalan tergesa-gesa menaiki tangga panjang untuk menuju kelasnya yang bertingkat 3.

Belum juga Arfa melalui harinya selama sebulan, tapi Arfa selalu mengeluh akan hal kelasnya. Arfa harus bercapek-capek menuju kelasnya dengan cepat tanpa ada pilihan lain selain menaiki tangga ini. Tangga yang selalu membuat lelah tiap hari. Apalagi sekarang jam menunjukkan pukul 06.55 yang artinya kurang 5 menit lagi guru mata pelajaran pertama Arfa  akan memasuki kelasnya dan Arfa harus membutuhkan

Lain halnya dengan seorang laki-laki yang barusan datang ini yang saat ini duduk di atas motornya sambil menyisir jambulnya untuk di kerahkan kebelakang biar terlihat lebih keren dan rapi menurutnya.

Setelah selesai karena tak butuh waktu lama untuk berdandan, laki-laki itu turun dari motornya yang tadi telah ia parkir dengan tas yang ia cangklong ke sebelah kanan bahunya.

Laki-laki itu berjalan dengan santainya tanpa memperdulikan waktu yang berjalan dengan cepat.

Banyak kaum hawa yang pada memperhatikan sosok laki-laki itu yang berwajah bak artis korea yang menyasar ke sekolahnya.

Sosok laki-laki itu mempunyai tubuh indah. Paras yang tampan. Hidung yang mancung. Tak jarang siswi yang melihatnya langsung terpesona. Banyak yang kagum dengannya. Ingin rasanya siswi yang melihatnya itu menjadikan kekasihnya karena tak ingin laki-laki itu dimiliki oleh orang lain selain dirinya.

Tapi laki-laki itu malah nampak tak peduli. Bahkan terkesan cuek. Menurutnya ia di jadikan bahan tontonan setiap ia melewati beberapa lorong itu, biasa saja. Karena menurutnya ini resiko memiliki wajah tampan sepertinya yang mampu membuat siapapun terpesona ketika melihatnya.

Ngomong-ngomong tentang siapapun yang melihatnya langsung terpesona, laki-laki itu langsung teringat pada salah satu perempuan yang di kenalnya kemarin.

Nampak perempuan itu yang melihat laki-laki itu hanya menatapnya biasa saja. Tidak ada kata terpesona di binar wajahnya maupun matanya. Justru kebalikannya. Malahan laki-laki itu yang langsung terpesona melihat perempuan berwajah polos itu.

Perempuan yang mampu membuat hatinya langsung terpikat. Perempuan yang mampu membuatnya mengenal arti kata cinta. Cinta pertama. Perempuan yang mengenalkan pada laki-laki itu bahwa jatuh cinta itu benar-benar pertama kalinya ia alami.

Entah kenapa mengingat wajah sang perempuan itu langsung membuatnya tersenyum senang. Ingin rasanya ia bertemu lagi. Bahkan saat ini ia mempercepat langkahnya untuk bertemu sosok perempuan yang ia maksud tadi.

Tepat saat ia ingin menaiki tangga menuju lantai 3 karena saat ini ia masih berada di tangga lantai 2, ia mendengar gerutuan dari seseorang perempuan berkucir kuda dengan badan sedikit membungkuk karena perempuan itu sedang memijit kakinya yang terasa pegal.

Terlihat dari gerutuan yang ia dengar dari perempuan itu dan tingkah laku yang dapat laki-laki itu lihat bahwa perempuan itu merasa capek dan mengeluh akan hal tangga untuk menuju kelasnya.

"Huh?! Capek banget sih! Kalau gini tiap hari bisa-bisa kaki aku pegel semua nih! Di tambah waktunya mau mepet!" gerutu perempuan itu sambil terus memijit kakinya.

Untungnya daerah tangga itu tak terlalu ramai karena dia datang agak terlambat dan otomatis hampir seluruh murid sudah memasuki kelasnya masing-masing.

Hanya ada laki-laki yang dengan setia masih melihat tingkahnya dari arah belakang punggungnya tanpa perempuan itu sadari.

Bukannya meneruskan langkahnya dan mengabaikan gerutuan perempuan itu, laki-laki itu malah memilih menghentikan langkahnya dan mendengar gerutuan dari perempuan itu yang menurutnya ia kenali dari suaranya.

Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya heran dan tersenyum setiap kali ia mendengar gerutuan kesal yang terus di keluarkan oleh perempuan itu dengan posisi yang masih sama.

"Gak bisa apa kalau tangganya di kurangin dikit! Capek nih kalau tiap hari begini. Apalagi telat berangkat sekolah. Besok-besok aku berangkat jam 5 subuh sekalian biar gak lari-larian kek gini" gerutunya lagi.

Laki-laki itu menghela nafasnya sebentar. Tanpa berkata laki-laki itu langsung membalikkan tubuh perempuan itu dan menariknya untuk duduk di pijakan tangga tersebut.

Tapi bukan respon baik yang ia dapat, malahan benturan keras di punggungnya yang ia rasakan membuatnya meringis kesakitan.

"Hei! Jadi cowok breng-"

Ucapan perempuan itu terpotong tat kala ia melihat siapa laki-laki tersebut yang sangat ia kenali membuatnya kini tak mampu berkata lagi hanya bisa membulatkan matanya sempurna dan menutup mulutnya yang kini menganga lebar.

Tbc

Pursuit Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang