Liburan akhir tahun sudah berakhir. Biasanya anak-anak sedih karena liburan berakhir, ada juga sebagian remaja yang senang karena bisa kembali beraktivitas. Tapi tidak dengan remaja laki-laki satu ini, namanya Paul.
Paul adalah orang yang paling membenci liburan, kenapa? Karena ia harus terus di rumah dan ditahan. Ia
tak boleh pergi kemanapun tanpa seizin warga rumah. Ia sudah sering meminta izin untuk pergi menonton bersama temannya, Mack, namun tidak diizinkan."Ayah, Paul mau pergi ke bioskop bersama Mack. Hari ini ada film seru," ucap Paul semangat.
"No, bukankah Ayah sudah sering berkata padamu? Liburan bukan berarti kau pergi bebas, liburan kau harus di rumah." Tolak Ayahnya tegas.
"Tapi aku bosan, yah. Tenang saja, aku bisa mengendalikan kekuatan ini," Paul mencoba tersenyum.
"Mungkin." Lanjutnya dengan ragu.
"Apa kau bilang?! Mengendalikan?! Kau bahkan sudah membakar rumah pamanmu, Paul! Sadarlah!" Ayahnya berdiri dari sofa ruang tamu dan membanting koran ke meja dengan keras.
"Itu tak sengaja, yah. Ada sesuatu yang lain dan itu...sulit dikontrol," Paul berusaha menahan gejolak di dadanya. Ia berusaha menjaga emosinya agar tak meledak di depan ayahnya.
"Kalau masih sulit di kontrol, kau pindah sekolah saja! Kau Monster disini!" Bentak ayahnya.
Paul tertegun. Apa yang barusan dipanggil ayahnya? Monster? Jadi selama ini dimata Ayah, Paul adalah Monster?
"A-a-a-aku mo-mo-monster?"
Paul kembali menutup mulutnya. Sial,gagap ini keluar lagi!, batinnya. Mendengar perkataan Paul barusan, Ayahnya tertawa renyah.
"Lihat? Kau Monster! Kau sudah menjadi tidak berguna dengan kekuatan bodohmu itu dan sekarang... kau gagap." Ledek Ayahnya.
Paul menelan ludahnya sendiri, matanya berkaca-kaca. Paul sendiri tidak yakin bahwa ini adalah Ayahnya. Sejak lahir Paul selalu dikurung dikamarnya karena kekuatan yang ia punya.
Paul selalu sendirian dan kesepian, tidak ada teman, kecuali Mack. Di sekolahnya sekarang, International Junior High School, tidak ada orang yang boleh berteman dengannya. Ayahnya sendiri yang menyuruh Kepala Sekolah meletakkan peraturan itu.
Mack sendiri adalah sepupunya. Entah karena apa, setelah orangtuanya mati karena kebakaran yang disebabkan oleh Paul, Mack mendekati Paul dan bertingkah selayaknya saudara. Padahal sebelum itu, Mack tidak pernah bertegur sapa sekalipun dengan sepupunya itu.
Tanpa Paul sadari, kedua matanya mulai berubah warna, menjadi merah. Tangannya mulai mengeluarkan api-api kecil namun panasnya melebihi matahari. Ayahnya yang melihatnya membelalakan mata.
"Paul, sadarlah!"
"Kau tidak boleh lepas kontrol!"
"Paul! Kendalikan emosimu!"
Plak!
Satu tamparan kuat mendarat di pipi kanan Paul. Setelah tamparan itu, matanya kembali berubah menjadi abu-abu terang, api-api kecil disekitar tangannya menghilang dalam sekejap.
"Lihat kan? Kalau kau marah, satu dunia bisa hangus." Dengus Ayahnya lalu pergi.
"Kau harus pindah ke Warship Military School. Tanpa penolakan." Ucap Ayahnya sebelum meninggalkan ruang tamu dan beranjak ke dapur.
Paul mengacak rambutnya frustasi. Sekarang ia harus memasuki sekolah sialan itu. Kalian harus tau sekolah itu, Warship Military School. Sekolah dengan paling banyak peraturan, sekolah yang berbasis militer dan mengharuskan siswanya cukup mahir dalam berbagai bidang. Selain peraturan yang ketat, jadwalnya juga cukup padat.
Paul benci sekolah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PODERS
Fantasy"Siapa yang akan menjalankan misi ini, bu?" "Tentu saja, P.O.D.E.R.S." Sang pemuda terkesiap. "Maksud anda... Phoenix, Omniscience, Dark--" "Electric, Random dan SuperEndurance." Potong wanita paruh baya itu sambil tersenyum santai. "Tetapi bu, buk...