“Sial.” Makiku kesal.
Bajuku basah kuyup dan kerennya lagi sekarang aku terkunci dikamar mandi. Aku heran, siapa sih yang iseng menyiramku dengan air siang-siang begini. Aku membuka tasku, berharap isinya tidak sebasah aku kini.
“Perfect!” ucapku. Kulihat isi tasku yang sama sekali tidak bisa diselamatkan. Buku kuliahku, padahal aku sudah berusaha mencatat semua mata kuliah yang selalu aku ikuti. Namun ternyata kerja kerasku sia-sia kalau akhirnya tinta dikertasnya luntur. Dan aku terkejut saat benda paling berhargakupun tidak bisa terselamatkan. Ponselku yang sama sekali tidak tahu apa-apa jadi korban. Sama sekali tidak bisa kuhidupkan. Saat ini aku hanya berdoa semoga semalam aku lupa mengisi dayanya sehingga ponselku mati bukan karena basah.
“Arghhhh!!!” pekikku kesal. Aku langsung saja menendang pintu kamar mandinya sekuat tenaga. Dan ternyata apa yang selama ini diajarkan Rey berguna juga. Eh salah, keisengan Rey yang selalu mengajakku saat dia latihan karate berguna juga. Aku terpaku beberapa saat kalau ternyata pintu kamar mandi terbuka.
“Kali ini aku harus berterima kasih pada Rey.” Gumamku. Cepat-cepat aku keluar dari sana.
“Sial.” Makiku lagi. Tiba-tiba saja aku terhuyung. Kalau saja aku tidak cepat berpegangan mungkin aku sudah roboh.
Aku menyesal karena semalam aku baru tidur pukul tiga pagi gara-gara nonton film yang dulu Zen belikan untukku. Sementara aku harus bangun lebih pagi dari biasanya karena pukul tujuh aku harus berada dikampus. Dan sekarang, dingin menyerangku dan aku sadar kalau suhu tubuhku kini sudah meninggi. Kalau Rey tahu ini, dia pasti akan mengataiku lemah karena baru sebentar saja aku basah sudah demam. Aku bersyukur Rey tidak ada disini.
“Via.” Panggil seseorang lemah. Aku menoleh, cowok berkacamata yang aku temui beberapa hari lalu diperpustakaan menghampiriku. Kalau tidak salah namanya Ken, dia teman sekelas Vito.
“Kenapa basah kuyup begini?” Tanya Ken heran dengan penampilanku.
“Ada yang menyiramkan air padaku tadi ditoilet.” Ucapku lemah. Kurasakan sesuatu berdesir ditubuhku. Dan entah sejak kapan Ken sudah memapahku.
“Aku akan mengantarmu keruang kesehatan dan memberitahu Vito.”
“Jangan, aku benci dengan bau obat.” Tolakku “Dan jangan beritahu Vito, dia akan sangat cemas. Sebentar lagi juga aku baikan.”
“Tapi….”
Entah apa yang dikatakan Ken selanjutnya. Aku sudah tidak tahan lagi. Kepalaku terasa berat dan sangat dingin kurasakan. Tidak lama setelah itu, kurasakan tubuhku hangat dan keningku terasa dingin.
“Uhh…….” gumamku malas.
Perlahan aku membuka mataku. Beberapa detik aku terdiam, mencoba mengingat-ingat dimana aku sekarang. Dan aku tersentak saat aku teringat aku bertemu Ken sebelum aku tidak sadarkan diri. Aku menyentuh dahiku, ada plester demam yang masih agak dingin menempel didahiku.
“Dimana aku?” Tanyaku pada diriku. Lalu kusingkirkan selimut yang menutupi tubuhku.
“Aaaaaaaaaaa!!!!”
Aku berteriak sejadi-jadinya saat tahu kalau bajuku sudah diganti dengan sweater warna abu-abu dan celanaku berubah menjadi celana olahraga yang kedodoran untukku. Kualihkan pandanganku kesekitar ruangan, mencoba mencari tahu dimana aku. Lalu tatapanku terpaku pada sepucuk surat diantara buah dan susu dimeja samping tempat tidur.
Mungkin kamu akan terkejut saat bangun ditempat yang asing, apalagi dengan pakaian asing yang kamu kenakan. Tapi tenang saja, itu bukan aku yang mengganti. Aku meminta tolong pada teman perempuanku untuk menggantinya. Dan karena tadi kamu bilang tidak mau diantar ke ruang kesehatan, jadi terpaksa aku bawa ke kostku. Maaf kalau aku lancang melakukannya, tapi aku sangat cemas saat tadi kamu tiba-tiba tidak sadarkan diri.
Aku akan tetap memberitahu Vito soal ini setelah kita selesai ujian. Karena bagimanapun dia adalah kakakmu. Oh iya, kalau kamu lapar makan saja buahnya. Jangan lupa minum susunya. Maaf Cuma itu yang ada. ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite
RomanceBagi Via, Zen adalah penggangu, tapi bagi Zen, Via ibarat mentari yang bersinar dengan hangat. Bagi Via, Zen adalah lelaki menyebalkan, tapi bagi Zen, Via adalah gadis lucu yang membuat harinya lebih berwarna. Menurut Via, meski hanya tersisa Zen le...