“Sebenarnya apa yang kamu katakan pada Bunda?” Tanya Via ingin tahu. Dia penasaran kenapa Bundanya bersikap seperti itu mengenai penampilannya. Padahal biasanya Bundanya sama sekali tidak pernah protes dengan penampilannya.
“Aku tidak mengatakan apapun.”
Via menyelidik wajah Zen, berharap menemukan kebohongan disana.
“Kenapa Bunda bilang kalau beliau tidak mau kalau kamu harus pergi dengan gadis yang urakan?”
Zen menatap Via bingung, tidak mengerti dengan apa yang sedang Via bicarakan “Maksudmu?”
“Kamu mengeluh pada Bunda soal penampilanku?”
“Aku tidak pernah melakukannya.”
“Lalu kenapa Bunda bilang kalau dia tidak mau kamu pergi dengan aku yang urakan.”
Zen mengerutkan dahinya, dia terlihat bingung dengan pertanyaan Via “Kenapa kamu tidak menanyakannya pada Bundamu.”
“Aku bertanya padamu, kenapa kamu malah balik nanya.” Ucap Via kesal.
Zen agak kaget dengan nada suara Via yang sedikit membentak itu, namun kemudian dia tersenyum “Apa selama ini aku pernah protes dengan penampilanmu?”
“Sering kali.” Jawab Via cepat.
Zen tertawa kecil “Itu hanya untuk menggodamu Vi. Dan aku tidak serius.”
Zen melirik Via yang masih menatapnya dengan kesal “Kalau aku memang tidak suka dengan penampilanmu, aku tidak akan pernah mau mengajakmu jalan dan pastinya akan lebih memilih Clara.”
Zen menatap Via dalam “Aku menyukaimu bukan karena penampilanmu Vi, aku menyukaimu karena kamu selalu tampil apa adanya.”
Via terkejut dengan ucapan Zen. Dirasakannya dadanya mulai berdebar dengan cepat dan perlahan rona merah mulai memenuhi wajahnya. Tiba-tiba sebuah ingatan muncul dikepalanya. Ingatan dua hari yang lalu saat dia makan es krim bersama Ken. Dimana setelah itu dia melihat Zen bersama Andrea dan perilaku keduanya sama sekali tidak mencerminkan hubungan ‘Sebatas rekan kerja’. Teringat itu membuat dada Via terasa sesak. Dia menatap Zen sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya.
“Apa yang kamu pikirkan?” Tanya Zen saat Via terdiam.
“Kita mau kemana.” Tanya Via datar.
Zen mengerutkan dahinya saat menyadari ada yang berubah dari Via. Padahal tadi Via sangat bersahabat, tapi kini suaranya terdengar berat.
“Apa yang kamu pikirkan?” Zen mengulangi pertanyaannya.
“Aku ingin pulang saja.”
“Apa maksudmu?” Zen tidak mengerti dengan sikap Via yang seperti tombol on off, gampang sekali berubah.
“Aku tidak lapar dan tidak ingin nonton, aku ingin pulang.” Zen masih menatap Via tidak mengerti.
“Bercandamu tidak lucu Vi.”
“Aku serius.” Sergah Via cepat.
Zen menghela nafas, dia meraih tangan Via dengan tangan kirinya lalu meremasnya pelan.
“Katakan apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu.”
Belum sempat Via menjawab, ponsel Zen berdering. Zen melepaskan gengaman tangan kirinya. Dia langsung menerima telpon itu setelah menimbang beberapa saat.
“Kenapa Re?” Tanya Zen saat menerima panggilan itu “Aku baru akan makan siang.” Ucap Zen sembari melirik Via.
“Apa tidak bisa kamu handle?” hening beberapa saat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite
RomanceBagi Via, Zen adalah penggangu, tapi bagi Zen, Via ibarat mentari yang bersinar dengan hangat. Bagi Via, Zen adalah lelaki menyebalkan, tapi bagi Zen, Via adalah gadis lucu yang membuat harinya lebih berwarna. Menurut Via, meski hanya tersisa Zen le...