Setelah semalaman dibuat menangis, pagi ini Via kembali ingin menangis saat melihat Dewa sudah berada di meja makan. Via benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya, bagaimana bisa ayah yang selama ini disayanginya menjerusmuskan dirinya pada orang yang sama sekali tidak disukainya.
Via hanya menatap Dewa sekilas kemudian melewatinya begitu saja. Fahri dan Nina tidak terkejut jika mereka berdua tidak mendapatkan sapaan dan kecupan selamat pagi dari putri mereka, karena mereka tahu kalau Via pasti masih marah.
Via sama sekali tidak bersuara saat sarapan. Membuat Vito menatapnya heran. Dia sempat ingin bertanya, namun diurungkanya karena Via menggeleng kearahnya tanda adiknya itu tidak ingin bicara.
"Kamu akan ikut aku berangkat, Vi?" Vito bertanya pada adiknya, tapi malah Fahri yang menjawabnya.
"Via akan berangkat dengan Dewa."
Via yang baru saja akan menyuap nasi kedalam mulutnya, kembali meletakan sendoknya ke atas piring. Dia menatap Fahri sekilas kemudian kembali menunduk.
"Kenapa Ayah benci sekali pada Zen? Apa karena dia sudah meninggalkan Via tiga tahun yang lalu?" Via bertanya masih dengan tertunduk.
Suara dentingan sendok yang dijatuhkan di atas piring membuat Via mengangkat wajahnya dan menatap ayahnya yang tengah menatapnya dengan marah.
"Kalau kamu sudah tahu, kenapa bertanya lagi!" sentak Fahri tajam.
"Tapi Zen punya alasan, Yah." Via berkata dengan nada bergetar.
"Bisakah kali ini saja kamu menuruti perkataan ayah, Via." Fahri menatap putrinya tajam, "ini demi kebaikanmu."
"Tapi kami saling mencintai, Ayah." Via menitikan air mata.
Fahri menghela nafas kemudian meninggalkan meja makan begitu saja. Nina segera menyusulnya untuk menenangkan suaminya. Sementara Via langsung menunduk dan terisak.
"Vi," Vito mengelus surai adiknya, "turuti saja keinginan Ayah kali ini."
Via langsung menatap kembaranya dengan tajam. "Tapi aku hanya mencintai Zen, Vit. Dan kamu tahu itu karena kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan, kan?" Vito tidak bisa berkata apapun lagi. Memang seperi ucapan Via, dia merasakan bahwa ada sebagian hatinya yang merasa bahagia akhir-akhir ini dan Vito tahu benar karena apa.
"Vi," entah sejak kapan Dewa sudah duduk disebelah Via, "beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku pantas bersanding denganmu."
Via menatap Dewa dengan air mata bercucuran. "Jika aku melakukanya, kita bertiga akan tersakiti. Jadi sebelum semuanya lebih jauh, aku harap kamu berhenti Dewa." Lalu Via bangkit dari duduknya, meraih tasnya kemudian pergi begitu saja.
"Kamu serius denganya?" Vito menatap Dewa dengan tatapan menyelidik, "apa yang kamu lihat dari adiku?"
"Dia cantik dan memiliki senyum termanis yang pernah aku lihat." Tanpa sadar Dewa tersenyum lebar, "dia penuh semangat dan tidak pernah ragu mengatakan pemikiranya. Dan dia manja, aku suka gadis yang manja. Karena membuatku merasa sangat dibutuhkan olehnya."
Vito mengangguk. Pria di hadapanya ini sepertinya benar-benar jatuh cinta pada adiknya. "Kalau kamu serius, aku hanya bisa memberitahu ini. Selain Zen, ada dua pria lagi yang perlu kamu hadapi."
"Siapa?" Dewa bertanya penuh rasa penasaran.
"Rey dan Ken."
"Rey kakak tiri Via?" Vito mengangguk, "lalu siapa Ken ini?"
"Kenneth Adirangga. Pernah dengar?"
Kedua bola mata Dewa melebar, "Kennet si pengacara yang itu?" Vito mengangguk dan Dewa langsung mengusap wajahnya kasar, "dia sainganku juga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite
RomanceBagi Via, Zen adalah penggangu, tapi bagi Zen, Via ibarat mentari yang bersinar dengan hangat. Bagi Via, Zen adalah lelaki menyebalkan, tapi bagi Zen, Via adalah gadis lucu yang membuat harinya lebih berwarna. Menurut Via, meski hanya tersisa Zen le...