O2. I Hope We End Up Happy

5K 559 100
                                    

[ Rate: T // misgender , mpreg

Summary: Menjadi satu-satunya yang berperasaan dalam perjodohan membuat Jaemin selama ini merasa dia telah mengekang Mark untuk mendapatkan bahagianya. ]


....

....


"Aku berangkat!!" Sebuah suara terdengar girang dari seorang bocah kecil kelas 3 SD dengan tas terpasang rapi di punggungnya. Dia berlarian ke luar rumah dengan cepat lantaran jemputan sekolahnya sudah menunggu lumayan lama di depan.

"Hati-hati!! Jangan lari-lari!!" Jaemin berlari kecil ke pintu depan, tidak keburu membenarkan dasi dan ikat pinggang si bocah itu yang adalah anak perempuan satu-satunya. Pasalnya, anaknya itu selalu menghabiskan waktu lama di kamar mandi. Jadi tak peduli sepagi apapun Jaemin membangunkan, tetap saja tidak keburu. "Hah... tiap pagi selalu begini." Dia menghela napas sebelum kembali masuk ke dalam.

Dia berjalan ke ruang TV, lalu menemukan seseorang duduk nyaman di sofa sambil membaca koran.

"Sudah siap semuanya?" Jaemin berkacak pinggang di depan orang itu. "Aku tidak mau lho nanti tiba-tiba disuruh setrika kemeja pas sudah mepet waktu berangkat kerja!"

Orang yang diajak bicara itu tidak mengalihkan perhatiannya dari kertas yang dipegangnya itu. Matanya masih terfokus, tapi tentu dia masih bisa merespon. "Kemeja kan aku sudah pakai," jawabnya ringan. "Paling nanti aku minta carikan dasi."

"...! Jangan 'nanti' dong! Sekarang! Dasi yang mana?" Pekiknya lalu segera bergegas lari ke ruang pakaian di lantai dua, sementara yang satunya hanya menahan tawa.

Seperti itulah kegiatan sehari-harinya di kediaman keluarga Lee. Sudah ramai dari pagi sekali karena yang paling kecil harus berangkat sekolah, lalu yang paling besar harus berangkat kerja. Lalu ada Jaemin yang tidak berangkat tapi selalu jadi yang paling ribut sendiri. Oh, tentu saja. Dia memang yang bertanggung jawab di sana untuk mengurus suami dan anaknya.

Tetangga yang kadang suka memerhatikan, seringkali berkomentar, "Ah, pasangan muda yang manis sekali." Sambil menerka-nerka semanis apa pasangan itu ketika masih pacaran.

Tapi sayang sekali. Mereka sama sekali tidak manis saat pacaran, karena bahkan mereka tidak pernah pacaran. Mereka langsung menikah —karena ya, mereka dijodohkan!

Dijodohkan? Di zaman modern seperti inipun masih ada yang namanya dijodohkan? Padahal pasangan-pasangan di luar sana sedang asik mengelukan hak asasi, tapi sekarang hak untuk memilih pasangan hidup saja sudah dirampas habis dari Jaemin dan Mark, yang entah kenapa saat itu tidak protes atau apa.

Benar, mereka tidak protes. Dan itu sempat membuat orangtua mereka bingung.

Jaemin ingat papanya sempat bertanya apa sebenarnya dia sudah kenal dengan Mark sebelumnya karena... aneh! Menurutnya, aneh sekali melihat respons mereka hanya sebatas mengangguk, tersenyum, dan segala macamnya.

"Tidak. Waktu papa ajak aku ketemu dia, baru saat itu aku kenalan."

Papanya itu lalu tidak menanyainya lebih jauh lagi. Dia sendiri juga sebenarnya tidak ingin melakukan perjodohan untuk putranya, tapi karena satu dan lain hal, dia... tidak punya pilihan lain. Mungkin, mungkin Jaemin ingin mencoba ikhlas demi papanya. Tapi untuk meringankan pikirannya, papa Jaemin itu meyakinkan dirinya kalau Jaemin menerima karena dia tidak merasa Mark adalah orang yang sulit untuk disukai. Ya, itu adalah caranya untuk menghibur diri yang seakan telah menjual anak demi urusan pekerjaan.

Bagaimana dengan Mark? Tidak jauh berbeda. Dia juga menurut saja, tapi entah memang sudah perangai ayahnya atau apa, ayahnya itu sama sekali tidak kepikiran kenapa Mark bisa semudah itu menerima.

✩-MarkMin oneshots-✩Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang