promise me you wont laugh

233 7 4
                                    


[Tag: 213week, apocalypse; confession; fiasco

Tw cw // major character death

Summary: peringatan wabah tak jelas asal usulnya membuat Mark dan Jaemin harus bertahan hidup di ruangan kelas kampus mereka sampai akhirnya salah satu dari mereka harus pergi ke luar mencari bantuan.]

.
.
.
.

Tidak ada yang namanya pertanyaan bodoh. Yang ada, yang bodoh itu yang bertanya! Kenapa bisa melontarkan pertanyaan bodoh tanpa merasa bodoh?

Ingin sekali Mark berkata begitu di depan wajah Jaemin. Mungkin dengan itu, Jaemin tidak akan lagi memberikannya pertanyaan-pertanyaan yang kalaupun Mark ingin memutar otak untuk menjawabnya, tetap tidak akan membawa manfaat apa-apa! Buat apa pula dia bertanya, apa yang akan Mark lakukan jika dalam waktu dekat ini dunia akan diserang pasukan zombie?

"Kalau aku sih," Jaemin mengulum bibirnya sendiri, terlihat begitu tertarik dengan pertanyaannya satu itu, "kayaknya, sepersekian persennya senang. Jadi aku tidak perlu mengerjakan tugas akhir, dan tidak akan ada yang marah juga soal itu. Kalau kamu bagaimana?"

"Ya makanya, buat apa memikirkan itu? Yang harusnya kamu pikirkan itu bagaimana caranya kamu bisa menyelesaikan tugas akhirmu supaya kamu tidak perlu kena marah!"

"Tapi bagaimana kalau zombie benar menyerang waktu aku sidang?"

"Zombie itu tidak ada...."

"Tau dari mana?"

"Dari sini," Mark menunjuk kepalanya. Otaknya, maksudnya. "Kamu juga bisa tau itu kalau kamu pakai sedikit apa yang ada di sini." Dia ganti menunjuk pada kepala Jaemin. Tanpa tersinggung, Jaemin tertawa geli karena sentuhan jari Mark pada dahinya, lalu mengajak Mark untuk mempercepat langkah karena matahari sudah mau tenggelam dan tidak akan ada hari lain lagi di mana mereka sudah bisa bersantai di kamar kost sebelum jam menunjuk angka 6.

Sambil merebahkan diri di kasur kamar kost-nya, Mark terus terpikirkan pertanyaan Jaemin. Zombie? Serangan zombie? Itu hal yang mustahil. Mungkin, Jaemin kebanyakan nonton film zombie, jadi dia kurang bisa membedakan fiksi dan realita. Mungkin juga saking stress-nya dia menghadapi tugas akhir, dia jadi tanpa sadar memikirkan banyak kemungkinan yang sedikit banyak dia harapkan bisa membuatnya terbebaskan dari kewajibannya menamatkan pendidikan. Ya, memang mahasiswa akhir itu pikirannya seringkali menjadi tidak rasional, dan Jaemin yang adalah temannya dari SD itu bukan pengecualian.

'Mungkin besok aku harus ajak dia refreshing', batin Mark seraya memejamkan mata, siap mengantarkan diri untuk istirahat malam itu. Dia bayangkan beberapa rencana dalam kepala, apa saja yang akan dia lakukan untuk Jaemin besok harinya. Mengajaknya pergi makan enak? Membawanya ke kafe yang baru buka? Menemaninya belanja baju di pusat kota? Hm... yang mana ya? Tanpa berhasil memutuskan rencana mana yang dia ambil, dia jatuh tertidur.

Paginya, di mana dia terbangun, tidak juga ada keputusan apapun berkaitan refreshing Jaemin. Tapi tidak apa, karena ternyata memang hari itu tidak memungkinkan mereka untuk pergi ke manapun kalaupun misalnya Mark sudah memutuskan akan membawa Jaemin melakukan apa. Hari itu, di tengah jam kuliah, terjadi keributan.

"PERHATIAN! KAWASAN INI TELAH DITETAPKAN SEBAGAI WILAYAH TERDAMPAK BENCANA! HARAP SEMUA PENDUDUK SEKITAR TETAP DI POSISI, WASPADA, DAN TIDAK GEGABAH!"

Suara itu terdengar dari alat pengeras suara yang dipakai orang-orang dari dalam helikopter yang melintasi langit siang bolong. Instruksi yang tidak jelas. Bencana apa? Waspada terhadap apa?

Dari semua bencana yang mungkin terjadi, tak ada yang lebih mengerikan dari ancaman bencana yang tidak diketahui apa wujudnya. Mereka yang mendengar peringatan itu jadi tidak tau harus berbuat apa untuk antisipasi.

✩-MarkMin oneshots-✩Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang