O3. I still see you in my dreams

3.6K 349 11
                                    

[ Rate: PG // major character death ]

...

...

Mimpi itu bukan sesuatu yang direncanakan. Mimpi bukan hal penting yang serta merta mengatur jalannya hidup seseorang. Tidak seharusnya diartikan dan tidak seharusnya dijadikan tempat untuk lari.

Seseorang di sekolah pernah mengatakan itu pada Jaemin, ketika dia tengah heboh mengenai mimpinya malam sebelumnya.

"Kalau mimpi bisa mengatur hidup, kalau begitu apa yang mengatur hidupku? Aku tidak pernah melihat mimpi saat tidur!"

Kasihan, pikir Jaemin dengan tatapan datar, tidak tertarik untuk mencoba mengubah cara pikir teman sekelasnya itu yang dinilainya kurang paparan imajinasi.

Jujur, Jaemin merasa dia memang layak dikasihani. Tidak pernah melihat mimpi? Wah, Jaemin jadi ingin cerita bagaimana menyenangkannya bisa berpetualang ke dunia entah di mana dengan berbagai macam kekuatan aneh yang biasa dilihat di film-film. Dia bisa menjadi apapun dalam mimpinya, dan itu menyenangkan.

Lalu ada satu hal lain lagi yang paling ia sukai dari mimpinya.

"Halo, Mark hyung." Jaemin tersenyum melihat ada orang itu duduk di samping ranjangnya. Dengan tatapan yang masih mengerjap-ngerjap, itu sudah cukup buatnya untuk mengenali siapa.

Yang dipanggilnya Mark itu hanya tersenyum tipis dan mulai menepuk-nepuk selimut, memintanya untuk barangkali duduk bersamanya sejenak. Jaemin menurut walaupun matanya terasa sangat berat, meminta untuk terus ditutup.

"Hyung, aku melihatmu dalam mimpi seperti ini selalu saat kamu mengira kalau aku sedang sedih," kata Jaemin. Dia tersenyum geli melihat Mark memiringkan kepala seolah tidak mengerti. "Kamu kira aku tidak tahu? Kamu selalu begitu, hyung. Khawatiran. Cemas. Seperti kakek-kakek."

Mark tidak membalas ucapan Jaemin sama sekali. Dia hanya tertawa tanpa suara lalu mengusak rambut yang lebih muda, seperti tidak ada niatan membantah satu pun kata-katanya.

Jaemin menutup matanya, membiarkan Mark menyentuh, memainkan helaian rambutnya. Merasakan nyaman yang tidak dapat dirasakannya saat terjaga.

Matanya yang terpejam menampilkan pemandangan layaknya angkasa, di mana kakinya tidak menapak. Sekali saja lengah, dia pasti jatuh. Jatuh, kalau saja Mark tidak menjaganya.

"Hyung, kamu benar. Aku sedih." Dia berbisik. Tangannya terangkat, menahan tangan Mark yang perlahan mengusap lembut kulit wajahnya. "Makin hari aku semakin sadar aku tidak bisa jadi apa-apa."

Bercerita pada Mark dalam mimpinya seperti ini adalah satu bagian kecil yang paling dianggapnya berharga. Bercerita soal apapun yang dirasakannya, pada Mark yang akan selalu dilihatnya di sana ketika hatinya mulai terasa berat.

"Bukannya aku tidak mau berusaha, tapi aku tahu kalau aku salah melangkah, aku bisa kehilangan segalanya."

"Aku... aku tidak tahu kapan harus lanjut, kapan harus berhenti. Apa usahaku kurang? Atau itu memang bukan jalanku? ...aku tidak mengerti."

"Kalau sudah seperti ini lalu aku harus bagaimana?"

"Aku menyedihkan, hyung. Aku tahu harusnya aku tidak banyak bergantung pada mimpi seperti ini. Tapi bahkan sekarang aku merasa mimpi-mimpiku saat ini justru jauh lebih realistis."

"...Karena ada hyung di sini."

Jaemin mengatupkan bibirnya, tidak ingin lanjut bicara lagi sebelum Mark akhirnya mau mengatakan sesuatu. Tapi itu sebatas maunya. Dia tahu itu sama saja membuang kesempatan, karena dia juga tahu Mark bagaimanapun tidak akan bicara. Dia tidak akan membalas.

Pandangannya mulai kabur untuk melihat ekspresi seperti apa yang ditampakkan Mark. Dia sudah tidak bisa melihat wajahnya, tapi tangannya masih ada di sana, dalam genggamannya. Apa yang ada, Jaemin manfaatkan. Dia mulai mengeratkan genggaman.

"Hyung masih tidak mau membawaku pergi juga?" dia membawa tangan Mark ke dekat wajahnya lagi dan menciuminya layaknya memuja. Dia lihat Mark menggelengkan kepala lemah, dan itu juga membuat Jaemin menundukkan kepala, lebih dan lebih lagi. "Walaupun aku memohon?"

Mark tidak akan pernah membalas. Tapi Jaemin mengerti bahasanya itu lewat sentuhan tangannya. Apapun yang dikatakan Mark sekarang, dia tidak akan membawa Jaemin pergi bersamanya juga.

Ini mimpi, tapi berat di kepalanya terasa nyata. Jaemin menumpuk banyak tanda tanya dalam kepala, karena dia tahu Mark tidak akan menjawab tanda tanya miliknya yang manapun itu. Itu memberatkan buatnya, dan untuk terus memohon seperti ini pada Mark jadi terasa mudah.

"Kalau begitu jangan pergi...," lirihnya. "Aku tidak bisa apa-apa sendirian seperti ini." Ekspresi Mark dan sentuhan Mark yang perlahan jadi tidak terasa cukup untuk membuatnya mengerti bahwa Mark tidak menyanggupi.

"Aku tidak melebih-lebihkan, hyung. Aku masih melihatmu di sini, itu cukup jadi bukti."

"Aku masih mencari hyung di keramaian."

"Aku masih berharap bertemu hyung di suatu tempat."

"Aku masih butuh hyung di sebelahku."

Jaemin ingin Mark tahu sesuatu dari airmatanya yang mulai mengalir menuruni tangannya yang dibawa dekat ke wajah. Jaemin ingin Mark bicara. Apapun itu. Dia ingin mendengar suara itu lagi yang dulu selalu dapat menenangkan hatinya.

Pada kulitnya, Mark mengusap pelan, seperti tidak tergugah melihat Jaemin yang berbalut selimut itu sekarang benar-benar berantakan.

Jaemin ingat satu hal, ketika pertama kali dia bertemu Mark dalam mimpi seperti sekarang. Mark, dengan tatapan matanya seakan bertanya, kenapa Jaemin tahu dia sedang bermimpi?

"Karena aku sudah tidak bisa melihat hyung di mana-mana lagi." Itu adalah jawabannya tanpa perlu dipikir-pikir lagi.

Dia tidak merasakan apa-apa waktu menjawab, tapi ketika dia lihat wajah Mark yang penuh rasa sesal, matanya panas. Panas. Panas yang terasa lebih nyata sakitnya ketimbang di dunia sana di mana tubuhnya juga jelas merasa.

"Hyung, tolong jangan pergi lagi," pintanya. "Kumohon."

Dia lihat Mark dengan bentukannya saat ini yang sudah tidak tampak begitu jelas bagi matanya yang mulai kabur.

"Kumohon."

Pada permintaannya yang kedua, Mark menganggukkan kepalanya. Senyum Jaemin terlihat jelas, sama jelasnya dengan buliran air yang menuruni pipinya. Dia genggam lebih erat tangan Mark.

Mendapati sebuah anggukan dari Mark, itu sudah melegakan buatnya. Sangat. Walaupun dia sendiri tahu benar seerat apapun dia menggenggam, saat dia bangun nanti ketika pagi sudah tiba, Mark pasti bisa meloloskan diri.

Ketika pagi datang, Jaemin sejenak memerhatikan tangannya yang mengepal keras tapi tidak ada yang digenggam. Mark tidak ada di manapun.

.
.
.
END

He kangen banget

He kangen banget

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
✩-MarkMin oneshots-✩Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang