[ Rate: T+ // mentions of smoking, sex, alcohol. Inspo: Aimyon's futari no sekai
Summary: Na Jaemin di mata Mark. ]
...
...
Cinta bukan sesuatu yang diimpikan Mark dari dulu. Bukan apa-apa, tapi Mark merasa, ada sesuatu yang lebih penting daripada mengejar cinta dalam hidupnya. Apa itu? Impian orangtua.
Mark bukan anak dari sepasang orangtua yang banyak menuntut. Oke, mungkin dia memang dapat beberapa titipan seperti harus menjadi siswa aktif organisasi yang juga berprestasi secara akademik, tapi semua orang juga sama. Dan tidak pernah orangtuanya memaksa yang sampai menggembar-gemborkan segala upaya agar hal itu terwujud.
Kalau mau dikata, justru orangtuanya lebih terlihat seperti yang tidak menuntutnya apa-apa. Omongan bahwa Mark harus menjadi murid yang begini atau murid yang begitu semuanya hanya diucapkan layaknya angin lalu. Tapi tiap Mark merasa paham sendiri bagaimana wajah orangtuanya makin hari makin bertambah kerutan, Mark juga jadi merasa untuk menjadi murid berprestasi itu sekarang sudah jadi sesuatu yang harus dia kejar atas kesadarannya sendiri. Dan dalam perjalanan menuju perwujudan itu, cinta sama sekali tidak ia butuhkan.
Tapi dari dulu sampai sekarang, semua yang Mark lakukan adalah semua yang ia pikir tidak akan pernah ia lakukan. Sebaliknya juga sama. Yang selama ini ia rencanakan untuk lakukan justru malah menjadi hal-hal yang tidak ia laksanakan. Titipan orangtua untuk menjadikannya murid unggulan itu akhirnya hanya jadi bayangan. Dan cinta malah sekarang jadi salah satu hal yang ia kejar. Cinta dari seorang lelaki muda bernama Na Jaemin yang manis senyumnya tiada yang dapat mengira.
Na Jaemin adalah seorang yang... Sulit Mark pahami, sebenarnya.
Sebagai orang yang tidak pernah mengejar cinta, Mark sendiri tidak pernah memiliki sesuatu semacam kriteria orang seperti apa yang dia inginkan untuk jadi pasangan. Tapi seperti apapun kriteria yang ia mungkin akan miliki jikalau dia bukan orang yang pernah memutuskan untuk tidak mengejar cinta, ia rasa, Na Jaemin bukan orang yang ideal.
Na Jaemin ini kesannya seperti orang yang tidak memikirkan kondisi baik tubuhnya sendiri. Dia bukan orang bodoh, tapi dia terlihat tidak begitu tau cara menyusun prioritas. Semua yang ia lakukan itu dasarnya adalah impulsif. Tidak pernah dipikirkan panjang-panjang. Untuk menyebutkan dengan lebih spesifik sebenarnya apa yang ia maksud dengan 'impulsif', Mark tidak bisa, tapi untuk menyebutkan satu hal yang ia pikir adalah kebiasaan yang suatu hari akan membawa pengaruh buruk untuk tubuhnya, Mark harus sebut itu adalah kebiasaannya minum kopi.
Kopi? Semua orang minum kopi, Mark. Memang kalau berlebihan, kopi itu berbahaya dan walaupun diminum dengan cara yang biasa juga sudah cukup mengkhawatirkan, tapi ya itu tadi, semua orang melakukannya. Itu hanya masalah selera.
Mark memang bukan orang yang biasa minum kopi. Kalau harus memilih pun dia lebih suka teh atau susu. Rasa pahit kopi itu bukan sesuatu yang cocok untuk lidahnya, tapi untuk menjawab apa yang ia khawatirkan soal kebiasaan Na Jaemin dalam meminum kopinya, itu karena memang Na Jaemin meminumnya berlebihan.
"Hentikan. Kamu mau penyebab kematianmu gara-gara minum kopi?" Kata Mark tiap kali dia mendapati si yang lebih muda lagi-lagi tengah bersantai di apartemen yang mereka tinggali bersama dengan segelas besar berisi cairan berwarna hitam sehitam aspal. Omongannya ini sering sekali terucap, tapi kilahan Na Jaemin soal kopi yang seperti itu yang baru akan terasa nikmatnya juga tak kalah sering terdengar. Ya, Na Jaemin adalah pembantah.
Seiring waktu mereka hidup seatap, Mark sadari kalau memang ada sesuatu yang aneh dari Na Jaemin perihal cara makannya. Entah lidahnya yang memang sedikit lebih spesial atau apa, tapi Mark masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana herannya dia waktu mengetahui Na Jaemin selalu menyimpan toples gula dekat tempat tidur, dan dia bilang gula itu adalah cemilannya. Entah kopi atau gula yang akan membawanya mendekat menuju mati, tapi Mark sendiri sebagai perokok juga baru sadar dia tidak bisa berkomentar banyak-banyak.
Benar juga. Na Jaemin memang selalu memarahinya juga soal rokok. Katanya, daripada rokok, anggur merah itu lebih baik.
Awalnya, Mark kira alasannya adalah kesehatan. Tapi lalu apa bedanya dengan anggur? Barulah di kemudian hari dia tau ternyata Na Jaemin protes karena tidak suka bau rokok yang menempel di mana-mana, mengingat Mark memang senang juga merokok di dalam ruangan.
Kopi dan rokok. Benar-benar dua hal yang identik dengan kedekatan laki-laki. Tapi kedekatan mereka ini lebih dari dekatnya dua laki-laki di luar sana, dan mereka tak masalah. Tidak bagi Mark, tidak juga bagi Na Jaemin.
Sama halnya dengan Na Jaemin yang mengatur-atur kebiasaan Mark merokok, Mark juga inginnya mencoba untuk membuat Na Jaemin mencoba satu hal yang ia sukai sehingga mungkin mereka jadi punya kesamaan. Gitar. Mark pernah mengajarinya gitar untuk beberapa hari sampai akhirnya dia menyerah karena Na Jaemin sama sekali tidak tertarik.
Sedikit mengesalkan, jujur saja. Bukan apa-apa, tapi Mark tau Na Jaemin bukan orang yang bodoh dalam hal bermusik. Yang pertama kali membuat Mark penasaran dengannya itu adalah permainan pianonya yang ia dengar semasa sekolah dengan tidak sengaja. Hampir semua orang yang ia kenal sedikitnya bisa menekan beberapa kord sederhana dengan tuts piano, tapi sosok belakang Na Jaemin yang memainkan satu aransemen yang tidak pernah ia dengar dari teman-teman pianisnya itu entah kenapa bertahan lama dalam kepala.
"Aku hanya ingin tau apa kita bisa punya kesamaan dengan ini. Egois ya? Padahal aku sendiri juga tidak tertarik piano, tapi aku malah ingin membuatmu belajar gitar." Begitu kata Mark yang akhirnya dibalas Na Jaemin dengan kata-kata yang intinya adalah Mark memang sedikit egois dan itu bukan masalah.
Na Jaemin sangat mengenal diri Mark. Atau lebih tepatnya, Mark merasa dirinya sangat dikenal Na Jaemin. Pikiran itu membuat Mark akhirnya jadi merasa dia juga harus lebih berusaha keras agar dia dapat membuktikan kalau dia juga sama. Dia juga mengenal Na Jaemin sama dalamnya. Berangkatlah dia ke toko kelontong di jalan pulang dari tempat kerja, membelikan sekaleng kopi yang ia ingat jelas adalah merk kopi kesukaan si yang lebih muda.
Maka dari itu, bayangkan betapa syoknya dia saat tau ternyata dia salah membelikan. Kopi yang dia bawa pulang untuk Na Jaemin bukan merk yang tepat.
"...serius? Bukan yang ini?" Dijawab Na Jaemin dengan gelengan. Bukan, bukan yang itu. Dan Mark akan ingat sepanjang hidupnya bagaimana di malam itu dia bahkan jadi susah tidur saking tidak bisa terima dia salah mengingat hal yang ia yakini sudah ia ingat dengan jelas. Tapi semua salah. Tapi Na Jaemin tidak menyalahkan. Mark-lah yang menyalahkan diri. Menyalahkan dirinya yang merasa tidak paham apapun tentang orang yang sudah ia janjikan untuk dapat ia bahagiakan entah bagaimana caranya.
Janji yang muluk-muluk. Di posisinya yang sudah terbiasa menggagalkan banyak rencana, janji yang seperti itu sebenarnya sedikit membahayakan. Bagaimana kalau janji itu nantinya berakhir sama seperti titipan orangtuanya dulu yang sekarang sudah tidak pernah lagi muncul ke permukaan? Setidaknya, Mark sama sekali tidak ingin membuat sedih Na Jaemin. Tapi bahkan sebelum mereka sampai ke jenjang yang lebih serius, sudah berkali-kali juga Mark harus membatalkan janji.
Hanya janji kencan sih. Itu masih bisa dilakukan lain waktu. Tapi membayangkan bahkan untuk janji kecil saja dia tidak sanggup memenuhi, lalu bagaimana dengan janji muluk-muluknya yang lain? Bayangan yang seperti itulah yang membuatnya kadang juga jadi tidak bisa membalas dengan lebih mendalam pada tiap ucapan cinta yang Na Jaemin berikan.
"...aku tau kok." Hanya begitu. Dia hanya membalas begitu pada Na Jaemin yang senang sekali tiba-tiba memeluk dari belakang sambil menggumamkan kata-kata cinta yang teredam karena Na Jaemin senang menempelkan wajahnya di punggung si yang lebih tua. Tapi andai Na Jaemin tau, Mark juga ingin sekali untuk bisa membuatnya sedikitnya terpikir kalau dia juga sama cintanya. Bercinta mungkin adalah cara yang sebaiknya diambil terakhir, tapi sebagai orang yang selalu gagal melakukan hal-hal yang ada dalam to-do list-nya, mengambil langkah paling akhir untuk saat ini adalah pilihan terbaik.
Ya, ada banyak sekali hal yang tidak dapat Mark lakukan di masa lalu. Menyenangkan orangtua dengan menjadi murid unggulan gagal ia lakukan, tapi orangtuanya dari awal juga mengaku bahagia kalau melihat anaknya bahagia. Mengartikan omongan itu lebih serius, Mark berharap kehadiran Na Jaemin sebagai anggota keluarga yang baru juga sudah cukup untuk menggantikan.
Na Jaemin adalah orang yang Mark pikir tidak akan pernah bisa ia temukan dalam hidup. Na Jaemin adalah orang yang membuat Mark sadar, hidup itu tidak ada jawabannya, sehingga apapun yang terjadi itu tidak ada benar salahnya.
Cinta hanya milik berdua. Cinta yang melagakan, Mark akhirnya dapat merasakannya juga.
.
.
.End.
KAMU SEDANG MEMBACA
✩-MarkMin oneshots-✩
Fanfictionprompts ※O1. Never text him when you're sad ※O2. I hope we end up happy ※O3. I still see you in my dreams ※O4. You are the kindest ※O5. Mind ※O6. Imagination ※O7. A burden ※O8. The stars remind me that we're not together ※O9. I beg you please don't...