5 - Shameful Things

726 145 46
                                    

Mulmednya adalah visualisasi Ken.

●●●

Manusia. Ah, manusia hanyalah sekelompok raga bernyawa yang dijadikan pion permainan Tuhan di area papan catur-Nya.

Tuhan memang yang mengendalikan dan menggariskan segalanya, tapi manusia tentu bisa memilih akan menjadi pion yang seperti apa dirinya.

Pilihannya hanya ada dua, hitam atau putih. Pilihan itu lah yang nantinya akan menentukan nasib manusia di kehidupannya yang abadi kelak.

Pada dasarnya semua manusia terlahir dengan diri mereka yang berada dalam lingkaran putih.

Tapi lingkaran putih itu bisa saja menghilang dan tergantikan dengan lingkaran lain yang berwarna gelap, kan?

Semua kembali pada pilihan yang diambilnya nanti. Tetap mempertahankan lingkaran putih berada di sekelilingnya ataukah ingin menggantinya dengan warna lain yang lebih pekat.

●●●

"Dia mengalami Tension Pneumotoraks. (Pengumpulan udara atau gas di dalam rongga pleura)" Seorang perawat muda berucap dengan nada khawatir.

"Kita harus segera mengatasi ini," kata seorang lelaki yang matanya fokus pada sesuatu yang akan dikerjakannya.

Sampai tiba-tiba tanpa sengaja dia melakukan kesalahan. Semua orang yang ada di ruangan itu terlihat panik.

"28 French CTD." Suara seorang lelaki yang lain memecah keheningan.

"Cepat!"

Lelaki itu melanjutkan perkataannya dan mulai menangani pasiennya, sementara lelaki yang membuat kesalahan tadi segera membantunya.

"10 joule, charge."

"Charge."

"Clear."

"Shoot."

"30 joule, charge."

"Charge."

"Clear."

"Shoot."

Lelaki dengan peluh di dahinya itu terus berusaha, sampai beberapa menit kemudian hal buruk yang sempat terjadi itu dapat diatasinya dengan baik.

"Jantung dan tekanan darahnya sudah normal." Perawat perempuan yang ada di sana menatap rekannya dengan senyum bahagia.

"Syukurlah, kita hampir tamat tadi. Terima kasih, Dokter Henry."

Kepala Profesor yang membuat kesalahan tadi menatap dokter yang bertindak sebagai asistennya di ruangan operasi itu dengan senyum tulusnya.

"Itu sudah menjadi tugas saya, Kepala Profesor Marthin." Dokter Henry membalas senyuman Kepala Profesor.

Setelah keluar dari ruang operasi dan membersihkan dirinya, dokter Henry segera kembali ke ruangannya. Ahli bedah itu tak ada jadwal lagi setelah ini.

Dia hanya ingin makan siang dan segera pulang, tubuhnya begitu lelah karena sejak kemarin terus berada di rumah sakit.

Dokter Henry memutuskan untuk pergi ke kantin rumah sakit dan memesan makanan.

Dia begitu menikmati makanannya sampai getaran ponsel di sakunya membuatnya sedikit kesal.

Dengan malas dia membuka isi pesan di ponselnya, ia segera menyimpan kembali ponselnya usai mengetikkan sebuah jawaban singkat sebagai balasannya.

Selesai dengan kegiatannya, dokter Henry segera menuju ke ruangan Kepala Profesor nya yang lain.

La Lluvia : Hujanku Adalah KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang