31 - Blood

359 46 8
                                    

“Itu dia! Dia melarikan diri, cepat kejar!”

Itu adalah suara seorang anggota tim kepolisian yang melihat sosok Henry berlari menjauh. Suaranya berasal dari arah belakang rumah.

Ken yang mendengar itu sontak berlari ke arah yang sama diikuti dengan rekan-rekannya.

Henry menyadari kalau polisi mengejarnya, ia berlari semakin kencang, melewati kebun-kebun yang entah milik siapa. Menembus pepohonan yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya.

Tak ada tempat tujuan, ia tak tau akan ke mana. Instingnya mengatakan bahwa ia hanya harus berlari menghindari kejaran polisi.

Beberapa dari mereka bahkan sempat mengeluarkan tembakan peringatan untuknya. Ia juga tahu kalau ada Ken di sana, ia dapat mendengar suara teriakan Ken yang menyuruhnya berhenti dengan sangat jelas.

Tapi Henry tak peduli itu, yang ada di pikirannya hanya melarikan diri .

Dokter itu lelah, napasnya memburu dan kakinya terasa berat. Dia merasa sedikit lega saat melihat sebuah bangunan bekas sekolah di depan sana.

Tanpa pikir panjang ia mulai mendekati bangunan tua itu. Untung saja jarak antara dirinya dan para polisi itu cukup jauh, jadi ia bisa masuk dan bersembunyi di situ.

Henry tidak tahu kalau sebenarnya Ken, Davin dan Rexy mengamatinya dari kejauhan dan pelan-pelan juga memasuki bangunan itu. Sebelumnya Ken sempat memerintahkan anggota yang lain untuk mengepung seluruh sisi bangunan.

Henry ada di lantai tiga bangunan itu, ia bersembunyi di balik dinding tembok sembari menetralisir napasnya.

Tepat di lantai dasar, Ken menyuruh Davin dan sebagian anggota untuk berpencar mengililingi lantai pertama.

Sisa anggota yang lain mengikuti Rexy menuju lantai kedua sedangkan ia sendiri memilih naik ke lantai tiga.

Polisi itu telah siaga dengan pistol di tangannya, matanya berpendar ke segala arah. Langkahnya sangat hati-hati, berusaha agar tak menimbulkan suara.

Entah kenapa ia sangat yakin kalau Henry ada di sekitar sini.

Henry menyadari bahwa ada seseorang di sana, ia mengintip dari balik tembok dan mendapati Ken yang semakin mendekat ke arahnya.

Henry dikuasai iblis neraka, ia segera menyiapkan pisau lipatnya. Ia berbalik, keluar dari balik tembok dan dengan cepat menusukkan pisau itu di perut Ken.

Ken yang terkaget pun segera melepaskan tembakannya. Tembakan itu mengenai dada kanan Henry. Dan pistol di tangan Ken terjatuh setelahnya.

Mereka berdua sama-sama terluka. Tetapi Ken lebih parah, darah merengsek keluar dari perutnya. Polisi itu terjatuh sembari memegang lukanya yang terus mengucurkan darah.

Henry yang marah karena Ken menembaknya kembali menusukkan pisaunya ke perut polisi itu hingga beberapa kali. Setelahnya ia mencoba turun untuk melarikan diri.

Sadar bahwa ada begitu banyak polisi yang tersebar dan mengepungnya, dokter itu memilih untuk naik kembali.

“Kau … tidak akan … bisa lari,” ujar Ken terbata.

Ia terkulai di lantai sembari menahan rasa sakitnya. Kaos putih yang dikenakannya sudah berganti menjadi merahnya darah.

Henry berdecih sembari memegangi dadanya yang terluka, “Kalian tidak akan bisa menangkapku. Aku tidak akan biarkan itu!”

“Menyerah … atau mati. Pilih … salah satu,” kata Ken putus-putus.

Henry semakin murka mendengar ucapan Ken, “Kau yang harus mati polisi bodoh!”

La Lluvia : Hujanku Adalah KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang