"Ooow sayang... Sayang.... Jangan nangis. Cuma sebentar sakitnya...."
Mahira menepuk-nepuk lengan Naka yang sedang menerima injeksi. Karena nyonya Harimurti, Naka harus suntik imunisasi dirumah. DIRUMAH, SAUDARA-SAUDARA. Dia dengan khusus memanggil dokter anak ternama hanya demi suntik imunisasi. Mahira hanya bisa mengangguk patuh.
"Dulu Bima juga suntiknya dirumah kok. Kan bagus, Mahira.... Rumah sakit itu justru sarang penyakit, jadi lebih aman dirumah."
Begitu ujarnya tadi saat Mahira berusaha menjelaskan kenapa Naka suntik imunisasi dirumah sakit.
"Anak pinter, nurut sekali sama mamanya," komentar sang dokter.
"Dia bukan mamanya. Menantu saya sudah meninggal. Dia pengasuhnya."
"Oh, maaf kalau begitu. Tapi berarti sangat dekat ya.... Bayi mengenali perasaan orang disekitarnya. Artinya cucu ibu berada ditangan yang tepat."
Mahira membiarkan Raya mengantar dokter Jani keluar. Dia menepuk pelan paha Naka. "Naka hebat. Nangisnya cuma sebentar. Tante bangga." Dikecupnya pipi gembul bayi itu. "Sebentar lagi sudah bisa ditinggal sama papa aja nih."
Mahira tergelak karena mendapati Naka malah tertidur didalam dekapannya. Diletakkannya bayi itu ke dalam baby cribs. Saat ia melangkah keluar, dia mendapati Raya duduk berselonjor diatas sofa. Mahira langsung mengambil tempat disisi kaki Raya dan menaikkannya ke pangkuan. Raya tersenyum menerima pijatan tangan Mahira dikakinya.
"Saya sudah tua rupanya. Hampir tidak pernah berolahraga juga. Jadi berdiri lama pun mudah lelah."
"Mungkin perlu sesekali jalan kaki memutari komplek, bu."
"Kamu mau temani saya? Kalau saya capek, kamu gendong sampai rumah ya?"
Mahira tertawa. "Ibuuuu.... Saya kan gak sekuat kuli angkut."
Raya terkekeh. Matanya menerawang jauh. "Saya melahirkan Bima saat berusia dua puluh delapan tahun. Bima punya kakak. Tapi anak itu meninggal didalam rahim. Tidak sempat saya lahirkan. Hmmm... Tahun ini saya lima lima dong ya?"
"Hehe... Iya."
"Ulang tahun saya bulan depan."
"Wah... Sebentar lagi."
"Kamu buatin saya kue ya. Kue yang tempo hari enak."
Mahira mengangguk antusias.
"Mahira, kamu mau cerita kenapa beasiswamu dicabut?"
Raut Mahira berubah dengan cepat. "Itu.... Ceritanya panjang, bu."
"Kamu... Gak mau cerita kan?"
"Rasanya sakit kalau diingat."
Raya mendesah maklum. "Dua bulan lebih tinggal disini, kamu gak seburuk yang saya pikirkan waktu awal kita ketemu."
"Hehehe...."
Semua orang sama aja. Anak ibu juga.
"Tapi... Kamu kelihatan kuyu dan pucat akhir-akhir ini. Kalau Naka membuat kamu capek, kamu bisa minta bantuan saya untuk gantian menjaga Naka."
"Ah gak kok, bu. Saya sehat. Nanti saya buktikan, saya gendong ibu sampai rumah."
Raya tertawa. Sudah lama sekali rasanya dia tidak merasakan hal semacam ini. Tertawa dengan tulus bersama orang lain. Perasaan kosong yang dulu dirasakannya, kini mulai terkikis dengan kehadiran Mahira. Rasanya seperti anak perempuan yang dulu kehadirannya pernah sangat dia inginkan ada dalam keluarganya.
***
"Kamu... Sakit?"
Mahira terperanjat. Bima ini seolah hobi mendadak muncul dimana-mana tanpa peringatan terlebih dahulu. Mahira segera mengambil beberapa langkah mundur karena menyadari Bima berdiri terlalu dekat dengannya.
