14A

402 49 39
                                    

"Bukankah Bimantara yang kamu maksud ini mantan suami kamu?"

"Kinda." Mahira mengendik malas.

"Mahira Wilmar."

"Paaa...." Mahira mengerang enggan. "Aku sama dia cuma nikah siri. Jadi secara teknis, ya dia mantan suamiku. Tapi dianggap bukan juga gak masalah."

"Kamu berhubungan lagi dengan dia? Lalu Yudhis?"

"Pa, please.... Aku gak ada hubungan apa-apa dengan Bimantara. Dan jangan paksa aku untuk buru-buru menikah dengan Yudhis. Kenapa bukan Faya aja sih yang papa jodohkan dengan dia? Aku belum siap, pa. Ada Kale yang jadi prioritas utamaku. Kalau memang bagi papa Yudhis adalah calon menantu idaman kenapa bukan untuk Faya aja? Kasihan Yudhis harus menikah dengan janda anak satu."

"Kok jadi kamu yang marahin papa??"

Mahira terdiam. "Engg... Aku... Aku gak bermaksud marahin papa. Tapi..." Mahira menatap ayahnya lurus. "Aku bukan anak kecil lagi, pa."

"Justru karena kamu bukan anak kecil lagi, Mahira. Apa kamu pikir langkah kamu membawa anak itu ke rumah ini sudah tepat?"

"Pa..." Mahira menarik napas dalam-dalam. "Kanaka itu masih kecil. Bagaimana menjelaskan semua ini ke dia?"

Rahadian Wilmar mencondongkan tubuhnya ke depan. Menelisik sorot mata putrinya dalam-dalam.

"Kasih tahu papa, Mahira. Kamu peduli pada anaknya, atau papanya?"

***

"Puas, kak?"

Zelo terkekeh. Dia mengusap rambut Kanaka yang menikmati buah pepaya dengan Kalendra.

"Naka?"

"Iya, uncle?"

"Naka suka gak kalau Kale jadi adik Naka?"

Jangan. Mahira menggeleng memperingatkan Zelo. Kanaka menatap Kalendra yang dengan polos mengulum potongan buah pepaya. Anak kecil itu tersenyum.

"Suka." Dia mendongak ke arah Mahira. "Lagian Kale memang adiknya Naka kan, ma?"

Tawa Zelo pun pecah sudah. Mahira meringis. Terlebih lagi, karena kalimat Kanaka tadi didengar juga oleh Hesti Wilmar.

"Mahira, keledai memang tidak jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Tapi jatuh ke lubang berbeda dengan jatuh cinta," ucap wanita paruh baya itu.

"Mamaaaaa...." Protes Mahira.

Zelo terbahak.

***

"Menjemput anakmu?"

"I-iya, pak."

Bimantara tersenyum sopan. Aura yang menguar dari sosok Rahadian bukanlah sejenis aura kebapakan tapi lebih kepada aura penjaga yang siap menerkam siapa saja. Apa Bima melakukan kesalahan?

"Mahira ada, pak?"

"Masuk. Mereka sedang di ruang bermain Kale."

Akhirnya Rahadian mempersilakan Bima masuk ke dalam dengan membuka pintu lebar-lebar. Dia mengamati langkah pria muda itu dengan seksama. Masih berpura-pura tidak mengetahui hubungan masa lalu antara putrinya dan Bima.

"Dimana kamu kenal anak saya?" Tanyanya setelah mempersilakan Bima duduk.

"Ooh... Emmm.... Kami teman sekolah. Lalu saat istri saya meninggal, Mahira membantu saya merawat Kanaka sementara waktu."

"Yakin hanya itu?"

"Maksudnya, pak?"

Meski terlihat tenang, Rahadian melihat Bima sekilas menghindari tatapannya.

BIMANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang