"Mama mau kemana? Disini aja."
Setiap Mahira bergerak sedikit saja, rengekan Naka akan terdengar. Mahira pikir dia sudah berhasil membuat anak itu tertidur tapi nyatanya tidak.
"Tante harus pulang, Naka. Sebentar lagi papa kamu datang."
"Naka mau sama mama."
"Besok tante kesini lagi. Kamu bisa main sama Kale."
Naka menggeleng. Kedua tangan kecilnya masih memeluk pinggang Mahira dengan wajah menempel di perut wanita yang sejak tadi selalu dipanggilnya mama.
"Naka, please.... Tante janji."
"Naka gak percaya janji orang dewasa. Gak pernah ada yang ditepatin. Papa janji bawa mama pulang tapi nyatanya gak ada. Tiap ditanya jawabannya nanti terus. Oma bilang mama pasti pulang. Tapi setiap kali Naka tanya, oma minta Naka sabar. Naka gak percaya mama bakalan balik lagi besok."
Mahira mengusap kepala Naka yang berbantalkan pahanya. Sejujurnya kedua kaki Mahira sudah kebas. Mereka terlalu lama berada dalam posisi ini.
"Kalau mama pergi, Naka mau ikut mama aja."
"Gini.... Naka makan dulu. Kita bicarakan lagi nanti ya?"
Kanaka menggeleng.
"Bik Yuli bilang Naka belum makan sejak kemarin. Iya?"
"Hm...."
"Kenapa?"
"Naka gak mau makan. Naka sakit. Naka mau mati aja."
"Hush! Naka!" Mahira menarik Naka agar duduk dan menatapnya serius. "Tahu apa Naka soal kematian? Jangan ngomong yang aneh-aneh!"
Bocah itu mengerjap. "Mamanya Joan meninggal beberapa minggu lalu. Teacher bilang meninggal itu sama dengan mati. Seperti Bunny mati, gitu juga mamanya Joan. Meninggal itu pergi ke surga. Happy, bahagia terus. Gak ada kesedihan. Mamanya Joan bahagia. Gitu kata teacher. Naka mau bahagia. Naka gak mau sedih sedih lagi."
"Naka...." Mahira tercekat. Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
"Ma...." Dia memeluk leher Mahira. "Disini sepi. Papa selaluuuu kerja. Mama gak ada. Bik Yuli juga sibuk. Oma jarang datang. Naka mau sama mama aja. Boleh ya, ma? Please."
"Kita harus ngomong sama papamu dulu, Naka."
"Papa gak akan peduli. Sudah Naka bilang, papa sibuk."
"Nanti tante yang bilang. Tapi kamu makan dulu ya? Oke?"
Akhirnya Naka mengangguk. Mahira memberikan satu senyuman dan mengecup pipi anak itu.
"Anak pintar! Kanaka anak pintar!"
***
Tepat setelah Naka selesai makan, Bima pulang. Pria itu bahkan masih terlihat tampan dengan tampilan kusut dan lelah. Mahira mengalihkan pandangannya kemana saja asal bukan ke arah Bima.
"Itu papa Naka sudah datang. Tante pulang ya, sayang...."
"Gak mau..." Geleng Kanaka. Matanya mulai memerah dan berair. "Naka mau sama mama."
"Tante harus pulang."
"Naka ikut mama pokoknya."
Mau tidak mau, pandangan Mahira dan Bima bertemu. Bima terlihat pasrah dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Aku akan bawa dia ke rumah, kalau kamu mengizinkan."
"Naka...." Bima menatap putranya dengan sorot tajam penuh larangan. "Tante Mahira mau pulang. Kamu gak boleh begitu."