"Sshhh... Sayang.... Cup cup cup. Jangan nangis, Naka. Kanaka anak pintar. Kan tadi sudah minum susu. Bobok ya, sayang...."
Tahlilan baru saja selesai. Bima mengurungkan niatnya masuk ke kamar tidur Kanaka karena mendapati Mahira sedang berusaha menyusui Naka.
Apa isi otaknya?
Baru saja Bima mencela tindakan yang diambil wanita itu karena dia jelas tidak memiliki air susu. Ajaibnya, Naka justru berhenti menangis dan mulai tertidur. Merasa bodoh karena sudah mengintip, Bima merapatkan celah pintu kamar yang terbuka, kembali ke kamar tidurnya sendiri.
"Mama sudah sejak kemarin mau menanyakan siapa perempuan yang ada dikamar Naka itu."
Nyonya Harimurti bersidekap didepan pintu kamar, menahan langkah Bima maju. Bima menghela napas.
"Kita bahas ini lain kali."
"Mama perlu jawaban kamu sekarang."
"Dia.... Mahira. Yang akan mengasuh Naka."
"Satya Bimantara Harimurti." Nyonya Harimurti menggeleng tidak percaya. "Kamu gak lihat gimana penampilannya? Rambut merah, pakaian sobek-sobek kekurangan bahan. Norak. Kelihatan tidak berpendidikan. Kamu meminta orang macam itu mengurus anakmu? Dimana kewarasanmu, Bimantara?"
Yeah. Dalam hati Bima mengiyakan semua yang dikatakan ibunya tentang Mahira. Perempuan itu memang urakan dan tidak berkelas. Beda bagai bumi dan langit dengan Arumi. Jika Arumi saja sulit mendapatkan restu ibunya, apalagi wanita macam Mahira. Maka dari itu, Bima tidak bicara soal pernikahannya dengan Mahira. Lagipula, segera setelah Naka cukup besar dan dia sudah mampu merawatnya sendiri, Bima akan langsung membuang Mahira ke jalanan. Siapa yang sudi tinggal lebih lama dengannya?
"Mama.... Jangan pusingkan hal itu untuk sementara waktu. Arumi memilih Mahira. Dia yang paling siap diantara semua pengasuh yang ada di yayasan. Bima gak mungkin memperkerjakan pengasuh berumur, mereka tidak akan sanggup begadang mengurus Naka. Lagipula Naka masih bayi. Setelah Naka berusia lebih dari enam bulan, Bima akan cari pengasuh lain."
"Ya bagaimana dia mengurus Naka? Bagaimana kalau Naka keseleo, susunya terlalu dingin atau terlalu panas, air mandi yang suhunya gak pas."
"Ma! Sudah tiga hari dan Naka baik-baik aja."
"Oke. Begitu kesibukan papamu dengan cabang baru selesai, mama akan tinggal disini sama kamu dan Naka."
"Ma...."
"Mama khawatir melihat cucu mama diurusin perempuan kayak dia, Bim. Kamu harusnya ngerti!"
***
"Mau kemana?"
Mahira memasukkan tangannya ke saku jaket, tidak terpengaruh dengan nada dingin Bima. "Kerja."
"Jual tubuh maksud kamu?"
"Well.... Aku...."
"Menari striptease sama aja dengan jual tubuh, Mahira."
Mahira tertawa lirih. "Yah apapun lah. Terserah kamu memandangnya gimana, Satya. Aku pergi dulu."
"Tanah kuburan Arumi belum kering dan kamu sudah mulai dengan pekerjaan hinamu itu, Mahira."
Mahira berdecak kesal. "Gini deh, anakmu sudah tidur. Nyenyak. Aku kerja cuma sebentar. Aku pasti balik. Lagipula aku gak minum alkohol. Kamu gak usah khawatir."
Bima menggeleng diiringi tatapan meremehkan. "Arumi pasti sudah gila meminta aku menikahi kamu dan mempercayakan Naka ke kamu."
"Aku belum ngundurin diri. Kalau aku tiba-tiba berhenti, bossku jelas ribut. Aku masih punya sisa kontrak disana."
