5

284 37 26
                                    

Hamil. Satu kata itu sudah cukup untuk membuat Mahira ingin menjerit frustasi. Apa yang akan terjadi padanya? Dia tidak punya pekerjaan. Bagaimana dia membiayai hidupnya dan bayi ini? Sedangkan Bima jelas akan menendangnya keluar dari rumah pria itu. Mahira pusing. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari kalau haidnya terlambat? Dia juga tidak merasakan mual dan lelah berlebih seperti yang dikatakan orang-orang tentang ibu hamil. Dan sekarang, apa yang bisa dia lakukan?

"Kita harus ngomong, Mahira."

"Ya udah ngomong aja."

Mereka memang belum membahas apapun sejak kembali dari rumah sakit. Raya Harimurti saja langsung masuk ke kamarnya begitu mereka tiba. Dia tak bicara sepatah kata pun, bahkan enggan menatap Mahira. Padahal beberapa bulan terakhir, hubungan diantara keduanya sudah berjalan normal. Mahira yakin Raya akan sangat membencinya setelah ini.

"Aku mau bayi itu. Jadi kita rubah kesepakatan kita."

Mahira mendecih malas. "Jadi sekarang kamu mau manfaatin aku buat jadi penghasil anak untuk kamu. Gitu?"

"Mahira.... Sekarang mama sudah tahu kalau kita nikah dibawah tangan. Kamu hamil. Anakku lagi. Jadi mending kita resmiin aja sekalian kan?"

Mahira tertawa getir. Ini yang dia tidak suka. Klasik. Tapi memang menyakitkan. Kini dia percaya cerita semacam ini benar adanya dan bisa terjadi pada siapa saja.

"Kamu gak perlu pergi setelah Naka cukup besar. Tinggallah dengan kami, dan kita besarkan anak ini... Bersama-sama."

"Kalau aku gak mau?" Tantang Mahira.

Bima menghela napas. "Oh. Kamu harus mau. Atau... Anak itu ikut denganku setelah dia lahir. Kamu yang pilih, Mahira."

***

Tatapan Raya masih lurus memandang pokok jati kebun yang berbaris rapi dihalaman belakang rumah Bima. Tapi Mahira tahu perempuan paruh baya itu mendengar langkah kakinya. Ia hanya memilih diam.

"Saya minta maaf."

Kedua bibir Raya mengatup rapat. Dari gerakan pundaknya, dia sepertinya tengah menghirup udara dalam-dalam.

"Kenapa harus anak saya, Mahira?"

"Apa Bima belum cerita?"

"Kenapa harus kamu?"

Kini mata Raya yang memerah dan berkaca-kaca menghunus tajam pada Mahira.

"Saya.... Saya hanya berusaha membantu Arumi."

"Kenapa kamu harus hamil, Mahira?"

Oke. Mahira paham Raya terlalu terkejut. Dengan segala hal keningratan yang ada dalam dirinya, ini jelas merupakan pukulan berat. Raya pasti selalu berpikir Mahira adalah perempuan kotor. Menjadi pengasuh cucunya saja harus perang urat syaraf dulu, apalagi menjadi menantu dan mengandung cucunya.

"Tapi saya harus terima kan? Karena jabang bayi itu anak Bima. Bima anak saya satu-satunya. Dia memohon pada saya untuk menerima bayi yang kamu kandung. Saya hanya bisa berharap anak itu tidak akan mewarisi nasib kamu, Mahira."

"Apa ibu gak terlalu kejam? Memangnya saya bisa memilih di kehidupan mana saya akan lahir? Setiap orang menginginkan hidup layak. Tapi bukan berarti ibu berhak menghina saya."

"Mahira...." Raya berdiri dari kursi santainya. "Kamu tidak tahu bagaimana saya membesarkan Bima. Mendidik dia dengan benar dan mempertahankan nama baik saya juga keluarga besar saya. Lalu kemudian kamu masuk, apa yang akan orang-orang katakan? Bagaimana jika beberapa dari kenalan saya pernah melihat kamu ditempat kerja kamu dulu? SAYA HARUS BAGAIMANA, MAHIRA?"

BIMANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang