Mahira meletakkan booklet paket pernikahan yang diberikan Yudhis padanya ke atas meja dengan gerakan enggan yang kentara.
"Kamu gak suka? Saya bisa cari vendor lain yang sesuai dengan keinginan kamu."
"Yud.... Terakhir kali kita bicara soal ini, kurasa kita gak sepakat."
"Kamu yang gak sepakat. Saya sudah bilang saya siap menikah dengan kamu kapan saja."
Mahira menghela napas. "Yudhistira, menikah bukan perkara mudah untuk saya. Terlebih lagi, saya punya pengalaman kurang bagus dengan pernikahan saya sebelumnya."
Yudhistira tak menanggapi. Ia justru menatap Mahira lurus tanpa sepatah kata. Membuat perempuan itu kikuk dan berusaha menilai dirinya sendiri.
"Ke-kenapa? Ada yang salah dengan saya hari ini?"
Gelengan samar Yudhis menjawab kekhawatiran Mahira. Dia menarik napas panjang dan menyandarkan punggungnya di sofa.
"Kamu bisa selesai dengan masa lalumu kalau kamu menginginkannya, Mahira. Tapi..." Yudhis kembali menatap Mahira. "Tapi kamu tidak mau. Kamu selalu menghindari saya dan pembahasan tentang pernikahan. Mengulur waktu selama yang kamu bisa. Kamu hanya tidak mau menikah dengan saya. Iya kan?"
"Kalau kamu sudah tahu, kenapa masih bersikeras?" Mahira akhirnya memilih jujur. Tidak ada gunanya menghindar lagi karena lelaki ini menembaknya tepat di sasaran.
Yudhis tertawa lirih. "Karena saya mau memperjuangkan kamu, Mahira. Memperjuangkan kita."
***
Percakapan siang itu membuat Mahira berpikir banyak. Bahkan setelah kembali ke rumah, dia merenungkan ucapan Yudhis dan melihat bahwa pria itu tidak main-main. Tapi apakah pilihan yang benar menikah dengannya? Sementara hati Mahira masih diliputi kebimbangan. Ia bahkan tidak tahu apa yang diinginkannya. Mata Mahira memejam, mendadak sosok Satya Bimantara Harimurti muncul di pelupuk matanya.
"Oh jangan lagi...." Mahira menggeram kesal.
Pria satu itu adalah top list yang harus dia hindari. Sudah cukup kesedihan beberapa tahun lalu dia rasakan, jangan lagi. Jangan. Bukan Bima orangnya. Mahira tidak mau mengulang kisah yang sama. Lagipula apa yang diharapkan dari kisah mereka? Semua sudah berakhir tiga tahun lalu saat ia membuat keputusan untuk pergi. Mahira tak ingin terpengaruh dengan apa yang terjadi baru-baru ini. Seorang anak kecil tidak mungkin bisa menggoyahkan ketetapan hatinya.
"Memikirkan sesuatu sampai seisi dunia ini tidak eksis lagi."
Mahira membuka mata. Mendapati Zelo berdiri di sisi kursi malas yang diduduki Mahira, ikut menghadap ke arah taman. Gayanya seolah meneliti apa yang membuat sang adik tampak berpikir keras.
"Apakah semua akan baik-baik aja kalau aku menikah dengan Yudhis?"
"Kakak menentangnya, Mahira. Dia gak terlihat genuine sama sekali. Kakak selalu merasa dia menebarkan aura negatif setiap kali kami ada di satu tempat yang sama."
Mahira terkikik geli. "Mungkin kak Zelo hanya merasa kalah tampan darinya."
"Well.... Harus diakui Yudhistira memang tampan. Tapi apa kamu dan papa benar-benar gak bisa ngerasain dia punya intensi yang entah apa dengan keluarga kita?"
"Papa gak mungkin biarin dia ada di posisi bagus, kak."
"Mahira... Kadang favoritism bisa bikin orang gak berpikir terlalu jernih. Seperti yang kamu bilang, Yudhis tampan. Dan lagi dia memang punya potensi juga kemampuan bagus di bidangnya. Wajar papa sangat ingin menjadikannya menantu. Tapi somehow... Kakak gak pernah lihat tatapan penuh cinta di matanya untuk kamu, Ra. Beda dengan Bimantara. Apa pun itu masalah kalian dulu, emangnya dia udah gak termaafkan lagi ya?"
***
"Kita gak ke tempat mama?"
Bima berusaha tersenyum pada Kanaka. Mendorong gelas berisi susu hangat ke arah Kanaka, ia berujar, "Tante Mahira sibuk, Naka."
"Kok tante?"
Bima menangkup wajah putranya sembari sesekali mengelus pipi tembem anak itu. "Naka... Mulai sekarang jangan panggil tante Mahira dengan sebutan mama. Oke?"
Mata berbentuk almond itu berkaca-kaca."Kenapa, pa? Mama gak suka ya?"
"Karena tante Mahira bukan mamanya Naka." Bima bisa melihat kilatan kecewa di telaga jernih putranya. "Maafin papa."
"Papa jahat." Naka berusaha turun dari kursi makan tapi Bima menahannya.
"Nanti Naka pasti ngerti. Sekarang, papa bingung gimana jelasin ke Naka. Tapi ya, tante Mahira bukan mama Naka. Tante Mahira cuma bantu papa mengurus Naka. Naka punya mama yang lain."
"Papa jahat! Papa bohong!"
Bima memeluk erat tubuh putranya, menahan rontaan tak bertenaga itu dalam dekapan yang kuat.
"Maafin papa, sayang."
"Kanaka mau ikut mama Mahira! Papa jahat! Papa ngomong gini supaya Naka gak nanyain mama lagi kan?"
"Maaf, Naka... Maafin papa. Maafin papa..."
Bima mengeratkan dekapannya, tangisan polos Kanaka membuat hati Bima seolah teriris. Tapi mungkin memang sudah seharusnya begini. Selama tiga tahun ini dia berusaha mencari Mahira. Berharap dia tidak perlu menjelaskan kenyataan sebenarnya pada Kanaka hingga anak itu dewasa. Atau bahkan dia tidak perlu tahu sama sekali. Bima bertekat menemukan Mahira, memberitahunya bahwa mereka memiliki buku nikah resmi, melamarnya dengan baik, menikahi Mahira dengan layak, hidup bahagia membesarkan Kanaka dan adik-adiknya.
Namun kenyataan menampar Bima dengan keras. Mahiranya sudah menikah, hidup bahagia, memiliki putra yang sangat menggemaskan. Mahiranya tidak akan bisa dia raih. Sudah terlambat. Sudah sangat terlambat. Ada banyak kata maaf yang bahkan tidak bisa Bima ungkapkan. Penyesalan itu akan menghantuinya entah sampai kapan.
AHOLAAAA....
Bulan depan (Mei 2021) tepat 3 tahun cerita ini menggantung tanpa kejelasan. Aku minta maaf. Terima kasih untuk dukungan dan komentar yang menghangatkan hati. Sudah lama sekali aku gak menulis. Pekerjaanku lumayan menyita waktu dan pikiran. Sekalinya ada waktu istirahat, aku selalu tidur.
2021 aku berniat untuk mulai produktif lagi belajar menulis. Mari kita saling mendukung dan mendoakan. 😘
Wu Congxuan sebagai Yudhistira (lihat di medianya ya)
Maaf sependek ini dulu. Masih berusaha mencari feelnya kembali.