Zelo melirik Mahira lagi kemudian menghembuskan napas bosan.
"Kamu begini sudah sejak kemarin, Mahira."
"Begini gimana? Aku gak apa-apa kok."
Mahira bersidekap penuh kuasa tapi keengganan tersirat jelas dirautnya yang cantik. Zelo mengacak rambut adiknya gemas.
"Mahira, kamu memang baru tiga tahun hidup dengan kami. Tapi kamu adikku dan aku kakakmu."
"Terus?"
Zelo menarik napas dan beranjak menjauh. Dia memasukkan tangan ke saku celana, melemparkan pandangannya pada pokok pinus yang berjajar rapi.
"Kemarin itu... Kakak dan papanya Kale?"
Mahira mengernyit. "Ah! Yang mana?" Dalam hati dia was-was juga. Apakah kakaknya ada di bioskop yang sama?
Kali ini tatapan Zelo menghunus tajam. Jika kakaknya sudah dalam mode seperti ini, artinya Mahira harus bicara jujur.
"A-aku..."
"Sybil ada disana kemarin. Dia mengirimkan foto kalian."
Untuk apa asisten kakaknya pergi ke bioskop?
"Kakak memang memerintahkan Sybil mengikuti kamu, kalau hal itu bikin kamu penasaran Mahira," dengus Zelo. "Kamu kelihatan aneh dan uring-uringan. Kakak khawatir kamu melakukan sesuatu yang aneh."
"Ya ampun, kak Zelo.... Ya gak mungkin lah."
"Jangan mengalihkan fokus. Jadi benar itu kakak dan papanya Kale?"
Mahira menelan ludah untuk menetralkan tenggorokannya yang mendadak terasa kering luar biasa.
"I-iya. Itu Bima dan Kanaka."
Zelo mendengus keras. Dia memukulkan tangannya ke pagar balkon dan mengumpat tanpa suara.
***
"Naka gak mau sekolah."
"Kenapa, sayang?"
Drama apa lagi ini? Bima mengeluh dalam hati.
"Hari ini lomba menggambar. Papa dan mama dari teman-teman Naka bakalan datang semua. Naka sama siapa? Masa sama ibu guru lagi? Papa sibuk kerja. Mama gak ada. Naka iri sama teman-teman Naka."
Bima menggaruk kepalanya. Putranya ini belum genap lima tahun tapi sudah sangat pandai bicara. Seolah dia mengerti urusan orang dewasa saja.
"Naka.... Kalau kamu gak sekolah, kamu akan melewatkan satu kesempatan seru. Lomba menggambar kan asik. Gambaran Naka bagus-bagus semua. Mereka pasti kagum."
"Naka gak peduli, pa." Anak itu semakin menenggelamkan wajah imutnya ke bantal. "Naka mau belajar di rumah aja. Naka gak mau sekolah lagi."
"Kanaka..."
"Papa ajak mama pulang, baru Naka mau sekolah."
"Naka...."
Bima bingung harus bagaimana. Ini salahnya mengenalkan Mahira, oke, maksudnya foto Mahira, sebagai mama. Ekspektasinya adalah jika dia menemukan Mahira mereka akan hidup bahagia dan Naka terbiasa memanggil Mahira mama. Tapi dia tidak mengantisipasi kemungkinan lain. Dia tidak menduga kalau Mahira kemudian menikah dan hidup bahagia. Bima terlalu besar kepala. Terlalu percaya diri jika Mahira mungkin saja masih mencintainya, seperti yang dulu dikatakan Raya. Tapi ternyata tidak. Ya. Mana mungkin. Bima sudah terlalu banyak menyakiti wanita itu.
"Papa mau jujur sama kamu."
Anaknya melirik seraya tetap menempelkan tubuhnya di kasur.
"Tante Mahira itu bukan mama kamu. Ini salah papa sudah bohong sejak awal."