"Enak."
Raya tidak pernah secara langsung memuji masakan Mahira. Tapi hari ini dia melakukannya. Hal itu tentu membuat Mahira merasa aneh.
"Papanya Bima mau ketemu."
"Mama!" Bima yang sejak tadi makan jadi berhenti dan fokus pada ibunya. "Mama sudah janji gak akan bilang papa."
"Perempuan ini hamil anak kamu, Bima. Lebih baik papamu tahu kalau anakmu itu ada karena pernikahan yang sah daripada dia berpikir kamu punya anak diluar nikah. Kamu mengenal papamu kan, Bim. Jadi, mama memutuskan untuk memberitahunya kemarin."
Lirikan Bima tertangkap oleh Mahira yang mengunyah makanannya dengan tenang.
"Saya bisa menemui pak Adam Harimurti di kantor."
"Tidak perlu. Suami saya yang akan datang sendiri kesini. Lagipula..." Raya menoleh ke arah Bima. "Dia sudah terlalu lama tidak berkunjung."
"Ma...." Nada peringatan sarat terdengar disuara Bima.
"Kenapa? Kamu takut, Bim? Papamu lebih suka anak yang jujur. Kami mengajarimu nilai kejujuran sedari kecil, kan?"
Nafsu makan Bima lenyap tak bersisa. Dia meletakkan sendoknya.
"Siapkan saja jawaban terbaik kalian. Begitu papamu tiba dari Manado siang ini, pak Sutoyo akan langsung membawanya kemari."
***
"Maaf soal papa."
"No problem."
"Aku gak mau ini jadi makin sulit, Mahira."
"Aku tahu. Pasti susah menjelaskan asal-usul dan juga pekerjaanku. Iya kan?" Kekehan lirih Mahira membuat Bima semakin merasa terbebani. "Aku sekarang tahu bagaimana rasanya jadi perempuan simpanan."
"Kamu bukan perempuan simpanan." Bima menekan kalimatnya.
"Lalu apa? Istri cadangan? Bima, kita buat ini mudah. Bilang aja kamu merasa kasihan sama aku. Jadi waktu Arumi minta kamu nikahin aku, kamu setuju. Udah. Gak usah dibikin ribet."
***
Keduanya duduk di hadapan Adam dan Raya seolah pesakitan yang tengah disidang. Sejak beberapa menit lalu, hanya tatapan tajam Adam yang memperhatikan keduanya bergantian. Pria itu belum bicara sama sekali.
"Berapa usiamu, Bimantara?"
"Dua puluh tujuh tahun, pa."
"Kamu... Em... Mahira?"
"Dua puluh enam, pak."
"Berapa tahun kalian saling mengenal?"
Bima dan Mahira diam.
"Pasti sudah lama sekali ya. Mamamu bilang kalian teman SMA." Adam menarik napas. "Itu artinya sudah sepuluh tahun. Benar?"
"Kurang lebih."
Adam menyandarkan punggungnya ke sofa. "Berapa usia kandungan kamu, Mahira?"
"Sudah masuk bulan ke empat, pak."
"Bima, kamu tahu betapa berharganya kejujuran?"
"...."
"Papa gak akan ada di titik ini hanya dengan modal kemampuan. Kejujuran itu penting. Dalam setiap aspek kehidupan manusia. Termasuk pernikahan."
"...."
"Di hari pemakaman Arumi, papa melihat Mahira. Dia menggendong Naka, berdiri jauh dibelakang orang banyak. Papa sempat bertanya dalam hati, apa dia kerabat Arumi. Beberapa hari kemudian, mamamu bilang Mahira adalah pengasuh Kanaka. Tapi papa rasa dia gak kelihatan seperti pengasuh. Terlalu muda, terlalu passionate, terlalu... murni."