"Kamu mau masuk di SMA mana, Feb?"
Disuatu pagi yang cerah, Bapak bertanya sambil membolak-balikkan lembar kertas berisi daftar beberapa SMA favorit yang ada di Jogja. Kicau burung bersahutan dengan syahdu mengiringi pertanyaan itu. Udara pagi yang menyelinap masuk dalam rumah memberikan kesan damai untuk berdiskusi mengenai kelanjutan sekolah gue nantinya.
"SMA N 1 Jogja aja" Jawab gue datar sambil mainin mouse komputer. Kala itu, game yang lagi booming dikalangan keluarga gue adalah virtual cop. Game tembak-tembakan dengan grafis yang kurang sedap di pandang itu. Ya, keluarga gue memang ketertinggalan banget.
"SMA N 1 Jogja ya?" Tanya Bapak meyakinkan. Beliau pun mencari tau track record tahun sebelumnya mengenai NEM minimal disana. "NEM minimalnya 36.78, Feb. NEM kamu berapa?"
Mendengar Bapak menyebutkan angka 36.78, gue pun menghentikan gerakan jemari di atas mouse. Pelan-pelan, gue memutar kursi menghadap ke Bapak. Dengan nada penuh percaya diri, gue pun berucap :
"Dua puluh Sembilan koma tujuh lima"
Hening.
Ada jeda beberapa lama sampai akhirnya Bapak membenarkan sikap duduknya. Kemudian dengan menaikkan satu alisnya beliau kembali mengajukan pertanyaannya.
"Eng... Berapa Feb?"
"DUA PULUH SEMBILAN KOMA TUJUH LIMA" Jawab gue dengan mantap.
Seketika itu, Bapak pun meletakkan secarik kertas yang dari tadi beliau bawa. Raut wajahnya menggambarkan kepasrahan. Beliau bersandar pada kursi bambu reot kesayangannya sembari bilang dengan nada putus asa.
"Semua SMA Negeri di Jogja NEM minimalnya 31.40"
Gue menelan ludah. Bapak berencana bikin anak baru aja.
Cerita singkat itulah yang kala itu mengantarkan gue untuk bersekolah di salah satu STM di Jogja. Itu pun untung-untungan. Gue ada di peringkat paling bawah saat pendaftaraan ditutup. Ibaratnya, kalau waktu itu ada satu orang yang mendaftar di STM dan jurusannya sama persis kayak yang gue ambil, tapi NEM dia lebih dari 29.75, mungkin sekarang gue udah nikah dan punya dua anak.
Gue masuk jurusan Teknik Survey dan pemetaan di STM. Alasan terkuat kenapa gue memilih jurusan tersebut selain karena jurusan itu aja yang NEM minimalnya masih bisa gue capai adalah karena di jurusan itu ada banyak ceweknya. Ya, gue nggak bisa ngebayangin gimana jadinya kalau tiap pelajaran berlangsung yang gue liat cuma batangan semua. Sewaktu uji coba pelajaran fisika, dikala sekolah lain nyoba uji regangan dengan penggaris, dikelas gue nanti yang ada malah uji regangan dengan batangan masing-masing.
Jadilah semasa gue sekolah di STM, ketakutan gue akan cuma-bisa-liat-batangan-doang pun dihilangkan.
Sekolah di STM itu nggak ngeri-ngeri banget. Semuanya berjalan wajar-wajar aja. Guru, petugas sekolah, murid serta kebijakan yang ada di sekolah gue nggak beda jauh sama sekolah-sekolah lainnya. Nggak ada guru yang memutar-mutar golok ketika mengajar di ruang kelas. Nggak ada petugas sekolah yang setiap membersihkan halaman membawa sniper buat nembakin siswa yang mengotori lingkungan sekolah.
Yang membedakan cuma satu :
Ceweknya.
Jadi ceritanya gini, STM gue itu berdekatan sama SMA Negeri Sangaji. Dari situlah perbedaan itu bisa dilihat. Biasanya selepas pulang sekolah, ketika gue dan 2 temen gue (Adhi dan Jati) nggembel di pinggir jalan dengan satu plastik es teh buat 3 orang ditangan, kami selalu menebak-nebak dari sekolah mana cewek yang lewat didepan kami.
"Itu pasti anak SMA N Sangaji" Ucap gue sembari menunjuk cewek berjilbab dengan gaya berpakaian seragam yang modis abis "Beuh, beningnya"
"Itu-itu Feb, Itu pasti anak STM kita" Balas Adhi sembari menunjuk dengan tatapan lesu ke cewek yang berpakaian sekolah sedikit lusuh "Mukanya penuh oli"
"Bangkaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaai" Sosor gue menengarai.
"Eh, cowok-cowok anak SMA N Sangaji kece-kece juga ya gayanya" Jati menunjuk salah seorang cowok dari SMA N Sangaji yang keluar dari gerbang sekolahnya.
"Iya juga ya?" Jawab gue melihat sosok diri sendiri. Lesu.
"Iya. Lihat tuh anak STM, gaya pakaiannya mah standar banget. Nanti juga pasti kotor kena oli atau tanah" Adhi berucap, menunjuk seorang cowok STM yang nongkrong di depan angkringan.
Ada hening untuk beberapa saat, ketika kami saling memandang, kami pun tersadar.
"Bentar..." Sela gue memecah keheningan "Kayaknya kita anak STM juga, deh"
"Iya. Kita anak STM" Ucap kami serentak dengan melihat gaya berpakaian sendiri. Jiwa gembel kami udah terasah sejak dini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Tengik Anak Teknik
HumorCatatan Tengik Anak Teknik merupakan sebuah kisah perjalanan Febri dalam melalui hidupnya semasa kuliah. Siapakah Febri? Dia hanya manusia biasa yang dengan sangat kurang kerjaan menulis ini di semester 5 pada tahun 2016, dan sampai sekarang, dianya...