Hujan.
Banyak orang yang beranggapan bahwa hujan adalah salah satu bagian dari cuaca yang menyenangkan. Seakan dari tiap rintik air yang jatuh ke bawah, memberi tanda bahwa dia akan mendapat berkah. Gue pun percaya, yang dikatakan berkah adalah hujan itu sendiri.
Gue menyukai hujan.
Sama seperti kebanyakan orang pada umumnya, gue selalu suka melihat hujan dari berbagai tempat. Ketika gue berteduh di depan perpustakaan kampus, sendirian, dengan memegang sebuah buku di tangan kanan gue menerawang ke langit yang mendung. Butiran-butiran lembut itu dengan jelas keroyokan jatuh membasahi bumi. Sesekali gue menodongkan tangan kiri ke depan hanya untuk merasakan tetes-tetes air hujan yang dingin. Sesekali pula, kalau nggak ada orang, gue sering maju beberapa langkah ke depan supaya kehujanan, kemudian membuka mulut untuk merasakan tetesan air yang memberi kenikmatan.
2 hari kemudian gue diare berkepanjangan.
Namun, ada satu kejadian yang membuat gue kurang senang dengan hujan. Semua terjadi pada tahun 2013, masa dimana gue baru awal-awal masuk kuliah...
Hari itu Rabu, pukul 12.23 WIB. Nggak seperti siang pada umumnya, langit pada waktu itu diselimuti awan mendung yang menggumpal. Di rumah, gue dengan bimbang menengadah langit. Dalam hati membatin 'Jangan hujan dulu, ya Allah' serta dalam otak berpikir 'Kapan aku ganteng, ya Allah'.
Gue ada jadwal kuliah pukul 13.00 WIB. Semua nggak akan jadi masalah kalau jarak kampus gue cuma lima langkah dari rumah. Tapi yang jadi masalah, kenyataannya jarak antara rumah dengan kampus gue itu hampir sejauh 18 Km. 40 menit kalau naik motor. 8 jam kalau jalan kaki. 2 hari kalau ngesot.
Akhirnya gue pun memilih untuk berangkat kuliah dengan menggunakan motor. Jalanan siang itu masih cukup lengang, entah karena mendung yang membuat orang-orang males keluar, atau justru karena pukul 12.30 itu artinya orang-orang sedang bekerja atau sibuk makan siang. Gue nggak tau. Tapi yang jelas pada pukul segitulah gue sedang bergelut dengan jalanan, menghirup udara yang tercemar, tercecar oleh asap knalpot yang hitam lebam.
Hal yang gue sukai dari kuliah jauh dari rumah adalah gue bisa menikmati lika-liku jalan yang tiap hari pemandangannya berbeda. Semua tumpah ruah disana.
Gue basa-basi. Sebenernya nggak ada enak-enaknya sama sekali. Tapi kali ini, biarkan gue menghibur diri.
Dari jalanan yang panjang gue bisa belajar bersyukur. Dikala berhenti di persimpangan lampu merah, gue melihat seorang anak dengan pakaian lusuh berjalan membawa kaleng bekas sambil bernyanyi dengan suara serak. Satu persatu pengendara dia samperin. Dengan memasang muka melas dia menyodorkan kaleng bekasnya ke semua pengendara dan berharap ada tangan-tangan pemurah yang memasukan beberapa recehan ke dalam kalengnya. Memandang anak tersebut, gue merasa posisi gue saat ini sudah sangat beruntung. Dikala ada orang lain berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengemis di jalanan, gue justru dengan ogah-ogahan sedang dalam perjalanan menuju kampus. Malu. Kadang gue merasa gitu.
Dari jalanan pula gue belajar kehidupan. Meter demi meter yang gue lalui selalu terlihat pemandangan yang berbeda. Pada meter ke 100, gue bisa melihat orang lagi boncengan sambil pelukan dengan mesra. Pada meter ke 300, gue bisa melihat orang gampar-gamparan di pemberhentian lampu merah. Pada meter ke 600, gue bisa melihat kenyataan bahwa gue naik motor sendirian. Nggak ada siapa-siapa di belakang.
Kenapa baper sih, nyet.
Lanjut.
Jalanan gue susuri dengan perlahan. Santai. Seakan nggak tau apa yang akan terjadi di depan nanti. Beberapa kilometer jalanan gue tempuh dengan tenang. Sampai akhirnya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Tengik Anak Teknik
UmorismoCatatan Tengik Anak Teknik merupakan sebuah kisah perjalanan Febri dalam melalui hidupnya semasa kuliah. Siapakah Febri? Dia hanya manusia biasa yang dengan sangat kurang kerjaan menulis ini di semester 5 pada tahun 2016, dan sampai sekarang, dianya...