Bagian 6

2.6K 158 0
                                    

Waktu berjalan begitu cepat. Dari detik berubah menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari. Tanpa terasa sudah dua bulan Hafiz tinggal di negeri matahari terbit ini.

Hubungannya dengan Aira semakin dekat, dalam artian pertemanan. Begitu pun dengan gadis Arab yang bernama Fateema.

Hafiz menatap ke arah pinggir jalan yang nampak ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang.

Saat ini dia tengah berada dalam perjalanan menuju ke Osaka bersama Aira. Tapi jangan salah, mereka tidak hanya berdua saja, tapi ada supir Aira juga di mobil itu. Dia dan Aira ditugaskan untuk meninjau Restoran Ayah Aira yang berada di  Osaka. Sebuah kota kecil yang berada di selatan kota Kyoto.

Hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk mereka sampai di sebuah bangunan berlantai tiga bertuliskan 'Blue's Resto'. Sesuai dengan namanya, Restoran ini di dominasi oleh warna biru, biru langit.

Keduanya lantas turun dan segera memasuki Restoran.

"Pagi Jo." Sapa Aira pada seorang pegawai kasir pria yang tengah sibuk mencatat sesuatu. Pria bernama Jo itu mendongak, sedetik kemudian dia mengulas senyum. "Pagi nona."

Pandangan Jo beralih menatap ke arah Hafiz. "Oh ya Jo, kenalkan dia Hafiz. Manager pemasaran di cabang pusat. Dan Hafiz dia Jo, kasir di sini." Jelas Aira.

Keduanya menjabat tangan sambil memperkenalkan diri masing-masing. "Oh ya Jo, apa tuan Hiro ada?"

"Ada nona, di ruangannya. Apa perlu ku antar?" Tawar Jo.

"Tidak usah Jo. Kau layani saja para pembeli." Tolak Aira halus. Memang Restoran hari ini sedikit lebih banyak dari hari biasanya. Mungkin karena hari ini merupakan akhir pekan.

Jo mengangguk, kemudian mempersilakan Hafiz dan Aira untuk pergi ke ruangan kepala manager di sini.

Aira mengetuk pintu berwarna cokelat di hadapannya sembari uluk salam. Setelah mendengar jawaban dari dalam, Aira dan Hafiz memasuki ruangan itu.

"Apa aku mengganggu paman?"

Pria yang dipanggil paman itu mendongak sedetik kemudian dia tersenyum seraya beranjak menghampiri Aira dan Hafiz.

Aira mencium tangan kanan sang paman. "Bagaimana kabar paman?"

"Alhamdulillah paman dan bibi baik. Kalau ayahmu bagaimana kabarnya?"

Aira mengerucutkan bibirnya, "Kenapa paman hanya menanyakan kabar ayah? Dan tidak menanyakan kabarku juga?"

Ismail terkekeh melihat tingkat keponakannya. Usianya sudah menginjak kepala dua tapi perilakunya seperti anak belasan tahun. "Baiklah, bagaimana kabarmu dan ayahmu?"

"Alhamdulillah baik paman."

Ekor mata Ismail tertuju pada seorang laki-laki yang ada di belakan Aira. Aira yang mengerti itu, segera mengenalkan keduanya. "Oh ya paman, kenalkan namanya Hafiz. Dia manager pemasaran baru di Kyoto. Dan Hafiz, ini pamanku sekaligus kepala manager di sini."

"Ismail"

"Hafiz"

Ucap keduanya seraya berjabat tangan.

Setelah itu, Ismail menjelaskan semua perkembangan yang ada di Restoran ini. Aira dan Hafiz mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Ismail. Beberapa minggu terakhir, pendapatan Restoran ini cukup meningkat. Aira bersyukur akan hal itu.

"Maaf sebelumnya Aira, kalau boleh tahu di mana ibumu? Karena selama ini aku belum pernah melihatnya berkunjung ke Restoran?" Tanya Hafiz setelah mereka selesai mendengar penjelasan Ismail. Aira kembali menyesap teh hangat yang tadi dia pesan.

Saat ini Aira tengah berada di lantai dua Restoran ini. Tepatnya di teras Restoran yang diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin melihat pemandangan luar. Dari sini, pengunjung bisa melihat jalanan Kota Tokyo yang penuh dengan kendaraan dan pejalan kaki. Dan di malam hari, kita bisa melihat lampu dari jalanan atau gedung yang masih menyala. Semua itu tampak kontras dengan suasana gelapnya malam.

"Ibuku meninggal ketika dia melahirkanku."

Flashback on

"Sayang, aku punya kejutan untukmu!" Seru Tanti seraya memberikan sebuah kotak berbentu balok berwarna biru dongker kepada Sulaiman.

Sulaiman menatap lekat kotak tersebut. "Apa ini sayang?"

"Bukalah!"

Betapa terkejutnya Sulaiman ketika melihat apa isi kotak tersebut. Sebuah tespack dengan garis dua. Itu tandanya istrimya tengah mengandung. Senyum Sulaiman mengembang.

"Sayang, kau hamil?" Tanti mengangguk mantab. Sulaiman membawa tubuh Tanti ke pelukannya. Dikecupnya pucuk kepala Tanti berulang kali.

Akhirnya penantian mereka selama 3 tahun berbuahkan hasil. Tanti tengah mengandung anak mereka.

Waktu berjalan begitu cepat. Usia kandungan Tanti sudah memasuki bulan ke 6, berarti 3 bulan lagi Tanti akan melahirkan. Hari ini Sulaiman sengaja pulang lebih awal demi menemani Tanti memeriksakan kandungannya.

Tanti menjalani beberapa pemeriksaan, kecuali USG. Sulaiman dan Tanti memang sengaja tidak melakukak USG untuk melihat jenis kelamin anak mereka, agar bisa menjadi kejutan untuk keduanya.

"Bagaimana keadaan istri dan kandungannya? Mereka baik-baik saja bukan?" Tanya Sulaiman setelah dia, Tanti, dan sang dokter duduk.

Dokter paruhbaya itu menghela napas berat. "Sepertinya ada masalah tuan, nyonya."

Sulaiman dan Tanti saling melempar pandangan. "Masalah apa dok? Apa itu cukup serius?" Cecar Tanti.

"Sangat serius nyonya." Sang dojter menatap Tanti dan Sulaiman bergantian. "Terdapat sebuah kista di rahim nyonya. Kista ini ukurannya hampir sama dengan janin yang ada di rahim Nyonya Tanti. Dan itu sangat berbahaya bagi janin nyonya. Lebih parahnya lagi, itu bisa membuat janin ibu tidak bisa tertolong." Ungkap sang dokter.

Wajah keduanya menegang. Tanti meremas baju yang dikenakannya. "Lalu apa yang harus kita lakukan dok?"

"Kita harus menggugurkan bayi itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."

"Tidak! Aku tidak mau menggugurkan bayiku!" Tegas Tanti.

Tanti tak akan mungkin membunuh bayinya sendiri. Buah hati yang selama ini dia dan Sulaiman nanti-nantikan setelah sekian lama. Dan disaat dia diberikan kesempatan itu, dia harus merelakan bayinya pergi begitu saja? Tidak. Itu tidak mungkin bisa dia lakukan. Membunuh bayi yang tak berdosa, tak tahu apa-apa. Bayi ini berhak untuk melihat indahnya dunia. Berontak Tanti dalam hati.

Sulaiman menggenggam tangan Tanti. Seakan berkata agar Tanti tenang, tidak terbawa emosi. "Apa tidak ada cara lain dok?"

Dokter di hadapan mereka menggeleng lemah. Sungguh, jika ada cara lain, pasti dokter itu sudah memakai cara tersebut. Tapi tak ada cara lain. Dia juga tak mau jika sampai membunuh seorang bayi.

"Lebih baik kalian pikirkan terlebih dahulu."

Keduanya mengangguk lantas mengundurkan diri.

Dering telepon memutus memori Aira. Suara itu berasal dari ponsel milik Aira.

Aira merogoh saku mantelnya.

"Assalamualaikum Paman."

"..."

"APA?"

Aira menatap Hafiz. Terdapat gurat kekhawatiran di mata Aira. "Hafiz, kita harus segera ke rumah sakit sekarang."

~~~~~~~~~~~SCDNS~~~~~~~~~~~

Sorry for typo

'Sa


Sajadah Cinta Di Negeri Sakura |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang