Bagian 7

2.4K 158 0
                                    

Mobil hitam yang ditumpangi Aira dan Hafiz sampai di pelataran sebuah gedung bertuliskan 'Kyoto City Hospital'. Sebuah rumah sakit yang cukup besar di kota ini.

Segera Aira bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan ruangan ayahnya dirawat. Setelah mendapat jawaban, Aira berlari ke ruang rawat ayahnya tanpa memerdulikan keadaan sekitar. Termasuk Hafiz.

Ditatapnya pintu berwarna putih di hadapannya. Dihembuskan napasnya secara pelan.

"Assalamualaikum." Aira membuka secara perlahan pintu ruangan rawat ayahnya. Aira menatap lekat tubuh renta ayahnya yang terbaring di ranjang pesakitan dengan beberapa alat yang tertempel pada tubuhnya.

Aira mengusap sudut matanya yang berair, beranjak menghampiri ranjang ayahnya. Didaratkan pantatnya dikursi yang ada disamping ranjang ayahnya dirawat.

Tangan Aira tergerak untuk menyentuh tangan hangat ayahnya, diusapnya secara lembut. "Ayah" Panggil Aira lirih.

Perlahan mata Sulaiman terbuka. Sulaiman membelai rambut anak gadisnya, membuat Aira mendongak. Menatap sang ayah dengan penuh kekhawatiran.

"Aira, anak perempuan ayah yang kuat dan tegar, bukan gadis cengeng." Sulaiman mencubit pelan pipi Aira, membuat sang empunya kesal.

Sulaiman terkekeh geli melihat reaksi anak gadisnya.

"Assalamualaikum." Setelah beberapa saat dia berdiri di balik pintu, Hafiz memberanikan diri untuk masuk.

Pandangan Aira dan Sulaiman beralih pada sosok Hafiz yang baru saja memasuki ruang rawat Sulaiman. "Waalaikumsalam." Jawab keduanya serempak.

Hafiz mengecup punggung tangan Sulaiman. "Bahgaimana kabar paman?" Hafiz menatap lekat wajah renta seseorang yang sudah dia anggap seperti ayahnya sendiri.

Kenapa Hafiz bilang begitu? Karena selama Hafiz tinggal di Negeri Matahari Terbit ini, Sulaiman selalu membantunya saat dia tengah kesulitan.

Seperti satu bulan yang lalu, Hafiz yang kehilangan dompetnya karena dicopet di jalan tanpa disadarinya. Dan saat itu Hafiz tengah sakit, ia butuh biaya untuk berobat. Meminta bantuan pada Restu itu tidak mungkin, karena pada saat itu Restu tengah berada di Tokyo untuk melakukan riset perusahaan tempat dia bekerja.

Sulaiman yang melihat Hafiz tidak seperti biasanya mulai khawatir. Wajah Hafiz pucat, tubuhnya lemas, serta Hafiz yang pingsan. Segera Sulaiman membawa Hafiz ke rumah sakit untuk mendapat penanganan. Usai diperiksa dokter, ternyata Hafiz sakit tyfus. Sakit yang mengharuskan Hafiz dirawat selama 5 hari. Dan semua biaya Hafiz selama di rumah sakit ditanggung oleh Sulaiman.

Sungguh, Hafiz tak akan pernah melupakan kejadian itu.

Sulaiman mengulas senyum, "Alhamdulillah, lebih baik."

Sebenarnya Hafiz tahu betul apa yang sedang dialami Sulaiman. Dia sempat menanyakan keadaan Sulaiman pada dokter yang memeriksanya. Dokter tersebut mengatakan jika penyakit jantung Sulaiman sudah kronis.

"Aira, ayah ingin shalat. Ini sudah masuk waktu dzuhur bukan?" Aira mengangguk.

"Tapi ayah shalat dengan terlentang saja ya." Sulaiman menurut.

Aira melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk wudhu, kemudian Hafiz melakukan hal yang sama. Sedangkan Sulaiman, dia bertayamum dengan sebuaah kain yang lebih dulu diberi sedikit debu oleh Hafiz.

Mereka shalat berjamaah, dengan Hafiz yang menjadi imam dan Aira serta Sulaiman menjadi makmum. Ketika selesai shalat, Aira dan Hafiz dikejutkan oleh napas Sulaiman yang memburu. Segera mereka menghampiri Sulaiman.

"Ayah, Aira panggilkan dokter dulu ya." Belum sempat Aira pergi memanggil dokter, tangannya ditahan oleh Sulaiman.

Sulaiman mengulas senyum. "Tidak perlu Aira."

"Tapi-"

Sulaiman memotong cepat ucapan Aira. "Hafiz, bolehkah aku meminta sesuatu?"

"Ayah, ayah jangan banyak bicara terlebih dahulu. Lebih baik ayah istirahat saja, agar ayah cepat sembuh."

Sulaiman menggeleng tegas. "Tidak Aira." Ditatapnya Hafiz, "Hafiz, maukah kau memenuhi permintaanku?"

Ada setitik keraguan di hati Hafiz untuk menyanggupi permintaan Sulaiman. Tapi sekali lagi Hafiz memantapkan hatinya untuk memenuhi permintaan Sulaiman. "Insyaallah saya akan memenuhi permintaan paman." Jawab Hafiz mantap.

***

Matahari mulai kembali ke ufuk barat, menyisakan senja yang begitu indah dipandang mata. Langit berwarna oranye berpadu dengan biru seakan menjadi pemandangan menarik bagi semua orang yang melihatnya. Tapi sayang, semua itu tak akan bertahan lama, karena senja akan berganti dengan dewi malam.

Hafiz menyesap teh yang tadi dibuat oleh Restu. Pikirannya berkecamuk.

Pemakaman Sulaiman sudah berakhir sejak dua jam yang lalu. Tapi saat ini, pikirannya melayang pada permintaan terakhir Sulaiman.

"Kau masih memikirkan tentang tadi?" Ucap Restu memutus lamunannya.

Hafiz mengembuskan napas pelan, lalu mengangguk kelu. Disebelahnya Restu juga nampak melakukan hal yang sama.

Atmosfer keheningan memonopoli keduanya. Sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Suara ponsel Hafiz yang berdering nyaring memecah keheningan di antara keduanya. Dirogohnya ponsel miliknya yang berada di saku celananya.

Tertera nama ibu di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama, Hafiz menggeser tanda hijau pada layar ponselnya.

"Assalamualaikum bu." Salam Hafiz dengan penuh takzim.

"Waalaikumsalam le. Gimana kabarmu sama Restu? Apik-apik wae tha le? (Baik-baik saja kan?)"

Hafiz mengulas senyum. Mendengar suara ibunya bisa membuat hatinya menjadi tenang. "Alhamdulillah baik bu. Ibu, bapak, dan Sabrina gimana kabarnya?"

"Kita semua baik le." Jeda sejenak. "Kamu ndak lagi sibuk tha le?"

"Nggak kok bu, ada apa?"

Diseberang sana, Fatma tampak menghela napas berat. "Kemarin Pak Heru, tetangga kita, melamar kamu untuk anaknya. Gimana le? Ibu sama bapak terserah kamu, apapun itu keputusan kamu." Jelas Ibunya.

Deg!

Kenapa semua ini bertepatan dengan amanah yang dia emban saat ini.

Oh Allah, Hafiz harus bagaimana sekarang?

~~~~~~~~~~~SCDNS~~~~~~~~~~~

Sorry for typo

'Sa



Sajadah Cinta Di Negeri Sakura |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang