7 - Putri Tengil

18 2 0
                                    

Masa depan itu selalu ada di depan
Kalau dibelakang, baru namanya mantan.

°°°°°°

Gara memasuki rumahnya dengan wajah kusut. Melelahkan dan menyebalkan. Ia membanting sepatunya asal-asalan kedepan pintu kamarnya. Membuat suara dentuman yang cukup membangunkan seorang gadis kecil yang tidur di kamarnya.

"Abang apaansi, ngagetin aja. Berisik tau." suara cemprengnya menyentak Gara.

Gara menganga melihat sesosok makhluk yang selama ini selalu mengusik ketenangannya. Ia kembali.

"Buatin susu dong Bang." pintanya.

Kemudian, gara dibuat menganga kembali olehnya. Sungguh mengesankan. Seorang gadis kecil tengil berumur 6 tahun berani memerintah orang dewasa. Wah benar-benar.

"Buruan ya, Vina tunggu di kamar."

Belum sempat Gara menyumpah serapahkan dirinya. Ia malah meninggalkan Gara yang dengan wajah kesal. Sungguh menggemaskan.

Bundanya kemana lagi, bukannya itu anak tengil harusnya masih rekreasi ya. Ia adalah adiknya, yang sekarang menduduki bangku Sekolah Dasar. Ia musuh Gara, namanya Gavina Rifana. Panggilan sayangnya Vina. Siap-siap saja Ga, perang dimulai.

Dengan berjalan ogah-ogahan Gara menuju dapur membuatkan susu untuknya. Jika tidak dituruti, sudah pasti gendang telinga Gara akan meledak. Diletakannya susu itu di atas nakas meja kamar adiknya itu yang sekarang sedang bermain gadget-nya. Kalau ada dia dirumah Gara serasa menjadi pembantu kanjeng putri.

Belum sempat Gara keluar dari kamarnya, "Bang, Vina kangen Kak Luna. Main yuk ke rumahnya."

"Ogah"

"Abang mah nggak asik."

"Bodo amat." setelahnya Gara keluar dari kamar. Ia berjenggit kaget mendengar debrakan pintu di tutup. Adiknya pasti sedang kesal, ah jadi bahagia.

Meskipun Gara selalu memusuhinya,  namun ia begitu menyayangi adiknya itu. Mengingat Ayahnya yang sudah terlebih dulu meninggalkan mereka. Bukan ditinggal karena apa, tetapi meninggal dunia saat Vina masih berumur 2 bulan. Gara makan ngingat jelas saat itu. Ayahnya mengidap penyakit Komplikasi.

***

Laluna berdiri di hadapan Papanya yang sedang duduk di kursi. Ia menunduk, takut saat tiba-tiba Papanya mendongakkan kepalanya menghadap dirinya.

"Tadi pulang sama siapa?"

"Sama temen Laluna Pa." jawab Laluna dengan takut-takut.

"Lainkali kalau pacaran ajak kedalam, nemuin Papa." setelah mengucap kalimat barusan Papanya pergi meninggalkan Laluna yang masih menganga.

Papanya bilang apa? Kok beda banget ya sama prasangkanya. Ia kira Papanya akan marah besar melihat Laluna bersama Kevan. Apa Papanya tertembak saat perang? Hingga ia bertingkah aneh. Astaga Lun, lo bener-bener anak durhaka.

Laluna menyusul Papanya yang sekarang sedang menyesap kopi buatan Mamanya di meja makan.

"Papa nggak apa-apa?"

"Emang Papa kenapa? Perasaan Papa baik-baik saja kok."

Laluna terdiam, mungkin Papanya tidak melihat acara pelukannya kali ya.

ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang