10 - Feminine

18 1 0
                                    

Kenyataan memang menyakitkan, tapi justru kebohonganlah yang lebih menyesatkan.

°°°°°°

Kalau boleh Laluna ingin sekali menyeret Kevan dan merantainya di hutan. Tapi, Laluna masih waras. Dan tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan dirinya maupun orang lain. Jika dipikir-pikir, itu salah Laluna sendiri. Kenapa ia dengan mudahnya jatuh pada bualan cowok macem Kevan.

Huh, seketika mood nya kembali memburuk memikirkan hal seperti itu. Lagian, kenapa ia susah-susah merugikan dirinya sendiri dengan tidak masuk kuliah. Bodoh.

Akhirnya setelah kesadarannya kembali, pagi ini ia akan membulatkan tekadnya. Ia akan kembali menjalani hari-harinya seperti sedia kala. Jika bertemu dengannya anggap saja seperti selama ini ia kenal tanpa melibatkan perasaan. Fix.

Ia berangkat seperti biasa, jika biasanya ia selalu berpakaian yang hanya memakai sepatu sneakers di padukan celana jeans, kaos, dan kemeja. Kini berbeda, ia jauh terlihat lebih feminine. Mengapa? Karena ia pikir apa salahnya sedikit berubah. Ia bosan jika harus mendengar ocehan Mamanya yang mengharuskan perempuan harus selalu berpakaian anggun. Mengingat Mamanya adalah keturunan ningrat Solo.

Sampai ia di kampus, ia melangkahkan kaki nya menuju gerbang sekolah sesaat ia turun dari bus. Ia berjalan sedikit lebih anggun dari biasanya, membuat banyak pasang mata apalagi cowok yang melihatnya tanpa kedip. Sungguh pesona baru yang mereka lihat dari seorang Laluna.

Mereka sebenarnya tau Laluna adalah gadis yang cukup di kenal. Namun, gadis itu saja yang selama ini merasa dirinya tidak populer dan percaya diri. Memang sih, ia bukan perempuan kekinian tapi cukup manis dan aktif dalam organisasi. Tentu, jika mahasiswa aktif organisasi maka ia akan banyak dikenal oleh teman seangkatan maupun junior mereka.

"Lun, beda banget."

"Makin cantik aja."

"Boleh kenalan."

"Luna, jangan sombong dong."

Godaan seperti itulah yang tertangkap telinga Laluna. Memangnya apa yang salah sih dengannya, menurutnya ia tidak jauh beda dari sebelumnya. Hanya penampilan. Toh, jati dirinya masih sama seperti dulu. Kayak perasaannya misal. Eh astaga.

"Luna."

Panggilan yang sangat familiar di telinganya membuatnya menoleh dan menegang.

"Hai" sapa Laluna untuk menghilangkan kecanggungan.

"Gue pengen ngomong."

"Nanti aja ya Van, kayaknya ini dosen gue udah sampe kelas. Gue duluan."

Sebelum Laluna mendengar jawaban dari Kevan, ia buru-buru pergi. Bukan tanpa alasan ia memilih meninggalkan Kevan. Ia hanya tidak ingin timbul masalah baru, apalagi kalau sampai Kiara mengetahuinya. Ia yakin, hubungan mereka tidak akan baik-baik saja.

Kevan yang masih terdiam di tempatnya merasa sangat bersalah. Ia merasa menjadi pecundang. Sampai sekarang masih belum ia temui jawaban dari segala keresahannya.

***

Sedari tadi Gara mulai memperhatikan gerak gerik cewek yang sekarang berada di depannya sedang memakan bakso dengan lahap. Melihat kelakuannya yang seperti ini membuat Gara berpikir. Apa Laluna sehat?

"Ga, lo nggak makan?"

Gara tetap diam memperhatikan cewek di depannya yang berbicara. Seolah suara disekitarnya masih hening, hanya pikiram yang melayang entah kemana. Dilihat-lihat dari hari ini Laluna makin cantik, tapi tidak anggun. Melihat makannya saja seperti itu. Laluna dari dulu memang selalu terlihat manis dengan lesung pipit dan gigi gungsulnya. Tapi hari ini ia terlihat manis, manis, dan cantik. Aduh Ga, kayaknya lo yang nggak sehat.

ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang