٩- Dalam Diam

1.9K 83 2
                                    

Debaran itu ada, namun
hanya diam yang bisa aku persembahkan saat takdir mempertemukan kita.

***

Sore yang tenang menemani Zahro menunggu ustadzahnya untuk menyetor hapalan. Al-Quran berwarna putih tulang menemaninya berjuang agar segera melengket ayat-ayat suci di kepalanya dan berada di dalam hatinya.

Pemandangan dari depan asrama Zahro sungguh menenangkan hati. Namun mata yang ingin dimanjakan itu selalu menatap kitab suci di genggamannya. Suara lirih nan fasih Zahro berbaur dengan hembusan angin yang menyapa tiap tempat yang akan ia lewati.

Hati yang keras akan menjadi lembut. Mata yang kering menjadi mudah menangis. Lisan yang bebas teramat takut dengan Robbnya. Al-Quran penyembuhnya, merubah rasa gelisah menjadi ketenangan. Menjadikan hati lembut dengan memahaminya. Pesan yang Allah beri ada di dalamnya. Kumpulan kalimat Allah Maha Indah mengajak berbicara.

Lantunan itu bersautan di sudut bumi yang berbeda. Angin membawakan lantunan merdu dari bibir Zahro, mengirimkannya pada hati lain yang tengah khusyu' dalam tilawahnya.

Sebentar lagi Zahro akan mengakhiri masa SMA nya. Tiga tahun yang ia lalui memberikan banyak pelajaran yang tak mungkin didapat dengan harga. Ia akan segera menyusul teman lamanya yang sudah lebih dulu setahun meninggalkannya ke Negri orang. Teman yang mencuri sedikit tempat di hatinya.

Selama di pesantren Zahro dan Nayla melanjutkan masa SMA nya yang sempat terputus untuk mempelajari hal yang baru. Tidak sedikit tenaga dari akal dan rohani yang terpakai untuk belajar. Semenjak kepindahan dua tahun yang lalu mereka berdua sudah terbiasa menyantap pelajaran di pesantren ini. Pesantren putri yang sangat menanamkan rasa cinta kepada Rasulullah ﷺ dan putri beliau sayyidah Fatimah Azzahra.

Aku mendongakkan kepala ketika menyadari Nayla duduk di sebelahku, "Ada apa Nay, nte darimana?" sapaku

"Dari kamar, ngomong-ngomong antum mau lanjut kemana setelah ini?" tanyanya lembut.

Aku mengikuti nada bicaranya yang sopan, "Insyaa allah dua tahunan ana masih disini Nay. Ilmu ana bagaikan bayi penyu yang baru lahir ingin menyelam di lautan yang luas. Belum sampai untuk diujikan ke Negri orang,"

"Ya, ana tau. Kita harus bisa kesana sama-sama. Ana kagum dengan Negri yang antum ceritakan bernama Tariim itu. Ana dan antum pasti bisa kesana dan belajar di Daul Zahro impian," binar semangat muncul di kedua pasang bola mata penuh harap itu. Mereka saling melemparkan senyum yang membuat siapapun yang melihat akan menyadari tekad kuat dari keduanya.

Baru saja Zahro hendak menjawab, bibir mungil miliknya terkatup lagi. Ustadzah Aisyah yang melewati mereka berdua mengingatkan lisan agar tidak bersuara. Mereka sedari tadi mengobrol dengan bahasa Indonesia sedangkan aturan di pesantren ini melarang mereka berbicara tanpa menggunakan bahasa Arab.

"Huuuft, Nay yuk kita ke masjid sebentar lagi setoran," Aku menarik tangan Nayla dan kami berjalan berdampingan tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi.

***

Wahai hati, apa kabar dengan cintamu?
Bagaimana dengan rindu, apakah sudah terobati?
Atau apakah si pemilik tak pernah merisaukannya?
Atau ada penawar yang mengobatinya?
Do'a jawabannya.
Setiap panjatan doa kepada Sang Khalik menyampaikan rasa cinta yang menembus langit. Menitipkan rasa rindu yang sudah menggebu.

Detik kian detik dilewati seluruh penghuni pesantren ini dalam kesunyian dan kerendahan kepada Robbnya. Detik jarum jam tak mengusik ketenangan Zahro mengungkapkan segala isi hatinya.

"Rabb kita tabaroka wa ta'ala turun ke langit dunia setiap sepertiga malam akhir. Ia lalu berkata : Barangsiapa yang berdoa akan aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni. Hingga terbit fajar."
(HR. Bukhari 1145, Muslim 758)

Dua insan yang saling menyimpan rasa, entah sejak kapan. Menyimpan rindu yang seakan ingin segera bertemu dengan si pembuat rindu di belahan bumi yang berbeda.

Allah selalu punya rencana untuk mempersatukan hamba-Nya yang berjodoh. Baik keduanya saling mencintai atau tidak. Lambat laun semua akan terasa indah, rencana Nya lebih indah dari rencana manusia.

Pagi ini Zahro dan Nayla akan pulang ke rumah mereka di Surabaya meninggalkan Kota Bangil yang memberikan banyak pelajaran untuk mereka.

"Zah ayo ke depan gerbang para orang tua sudah banyak yang datang, siapa tau ada orang tua kita." ucap Nayla yang sudah siap menutup koper hitam di tangannya.

"Ya kheer," Aku menunggunya berjalan dahuku keluar kamar dengan koper yang setia dalam genggaman.

"Umii, Abiii," teriak rindu Nayla dari jauh yang melihat orang tuanya sudah menunggu di depan pagar. Ia berlari kecil memeluk kedua orang tuanya. Aku tersenyum kecil melihatnya. Nayla sangat ekspresif berbeda dengan diriku yang sulit mengunggkapkan perasaan gembira sepertinya.

Aku melihat Ayah dan Ibuku di samping orang tua Nayla. Aku mempercepat langkahku agar bisa mencium Ibu. Aku sedikit canggung dengan ayah, jadi aku hanya mencium tangannya lama.

"Terima kasih ayah sama ibu menyempatkan waktu menjemput Zahro," Aku menahan kata sayang yang hendak ku ucapkan. Biarlah nanti di mobil ku ucapkan rasa terima kasihku lagi, disini ramai tentu sangat malu jika terdengar orang lain, pikirku.

Mobil yang ku tumpangi dan mobil Nayla sudah melenggang di jalanan kota yang luas. Dengan perasaan berdebar aku menantikan waktu pulang kerumah yang sangat aku rindukan.

***

"Yah nte mah Zah gak bakal bosen sama coklat," sindir Nayla sambil tersenyum kecil saat Zahro melahap biskuit coklat buatan Uminya dengan lahap.

"Gak mungkin bosan, coklat itu makanan ana. Dari belahan dunia manapun coklatnya cocok semua di lidah ana," ucapku yang sudah terkekeh menyadari kata-kata berlebihan yang ku lontarkan.

Nayla tersenyum lebar, aku pun terkekeh lagi. Nayla merebut laptop dari tanganku dengan semangat.

Aku menatapnya bingung, "Ada apaan sih Nay?"

"Sekarang jamnya kak Fattah lagi santai, kita skype dulu sama dia," Ucap Nayla semangat.

Darahku mendesir lembut, entah mengapa aku menjadi gugup. Mataku sudah tak bisa diam menatap lurus selalu saja berpindah tempat.

Deg. Skype itu tersambung dengan kak Fattah yang berada di Mesir. Layar laptop yang sebelumnya berada di tanganku sudah menampilkan wajah yang sangat teduh dengan senyuman manisnya.

Aku tak bisa lagi menahan ketenanganku. Aku memainkan kuku tanganku gelisah, berharap dengan itu aku tidak terlihat seperti orang kebingungan.

Meskipun rindu ini begitu menyeruak. Tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk. Senyuman manis nan teduh yang menenangkan itu terus terukir di wajah cerahnya, membuat mata yang dibelenggu rindu ini ingin memandangnya dengan tenang.

Tiga detik yang berharga, pandangan mata Zahro mendongak ke layar laptop yang sudah ia alihkan lagi. Tidak bisa kembali lagi, ia terus berusaha menahan matanya agar tak kembali menatap layar laptop yang menjadi tampan seketika.

Begitu lama hingga akhirnya Zahro meminta ijin ke kamar mandi. Nayla mengangguk dan melanjutkan kembali percakapannya dengan kak Fattah yang sempat terputus.

***

Alhamdulillah😊

Jadikan Al-Quran sebagai bacaan utama
.
.
See you
😊

Santri TahfidzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang