Selalu ada kejutan yang disiapkan takdir
"Akhirnya...kita sampai juga di Mandalawangi!"
Kerinci berseru gembira. Carier-nya dilepas. Digeletakkan begitu saja di tanah. Lalu, dia berlari ke tengah lembah yang cukup luas untuk dipakai bermain sepak bola itu. Mirip sekali dengan anak kecil yang baru saja sampai di tempat liburan.
"Anaphalis Javanica."
Istilah itu meluncur begitu saja dari bibir Rinjani. Senyum takjub masih bertengger rapi di wajah. Ditatapnya bunga dengan batang yang tertutupi bulu-bulu halus mirip kapas serta kelopak putih dan kuning itu. Kepalanya merunduk. Aroma khas bunga abadi pun menyeruak di penciuman.Tiga orang temannya menyusul. Dua laki-laki, satu perempuan.
"Ini baru yang namanya Surga Edelweis," komentar Mas Agung. Rambut gimbal dan kulit sawo matang adalah ciri khasnya. Sudut-sudut bibirnya terangkat ke atas.
Dan, mereka pun terhipnotis pesona Mandalawangi. Cukup lama.
Sergapan angin lembah menyadarkan mereka. Tanpa terasa sang surya sudah berada agak condong ke barat. Mereka pun memutuskan untuk segera mendirikan tenda. Sebelum hari melampaui senja. Tidak lama, di tengah kesibukan masing-masing, terdengar suara hentakan kaki sekelompok pendaki. Tanpa suara. Berlarian. Semakin mendekat.
"Ada yang lagi kebut gunung nih," celetuk Rinjani yang sedang memasang cover tenda.
"Kalau turun emang lebih seru lari lagi, Ni," Pawitra menyahuti sambil memasang pasak di ujung-ujung tenda.
"Iya, tahu. Asal acara kebut gunungnya nggak ngerusak vegetasi yang ada di sekitarnya sih nggak masalah." Rinjani melirik ke arah Mas Agung yang akan memasukkan carier ke dalam tenda. Sosok yang dilirik justru cengar cengir tidak jelas.
"Hmm, mulai deh. Susah kalau udah berurusan sama Kadiv LH yang satu ini. Nggak sengaja kali, Dek," dalih Mas Agung seraya menguncir rambut gimbalnya.
"Nggak sengaja kok terus," kali ini Kerinci yang menimpali.
Rinjani mengangkat kepalanya. Di seberang jalan ada seorang laki-laki tersenyum padanya. Nampaknya mereka sebaya. Rinjani hanya membalas dengan tersenyum sekilas. Lalu kembali pada kesibukannya.
Dua pendaki lain berdatangan. Rupanya mereka adalah teman dari laki-laki tadi. Mereka berjalan menghampiri tenda Rinjani dan kelompoknya.
"Baru turun?" Pawitra menyambut mereka dengan hangat.
"Iya nih," sahut laki-laki yang memakai jaket biru. "Dari mana, Mas?"
"Surabaya. Kalian?"
"Kita dari Jogja. Lagi ada Dikjut."
"Oh, lagi Dikjut." Pawitra manggut-manggut. "Eh, kelupaan," tangan kanannya terulur, "Pawitra."
Laki-laki berjaket biru itu tersenyum, menjabat tangan Pawitra dengan mantap. "Gede," pintanya. Lalu menoleh, memperkenalkan personilnya yang lain. "Ini Arjuna dan itu Silva."
Salah satu bagian dari siklus kehidupan telah dimulai. Perkenalan.
"Ini rombonganku. Rinjani, Kerinci, Mas Agung sama Mbak Wilis. Kita juga baru turun dari Pangrango."
Mereka saling berjabat tangan. Menyunggingkan senyuman. Ada yang aneh. Semua terasa di-slow motion ketika Rinjani bersalaman dengan Arjuna. Seperti pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. De javu.Kok wajahnya nggak asing ya? Kayak pernah ketemu. Tapi dimana?
"Diriin tenda di depan kita aja," Kerinci menyarankan sekaligus membuyarkan lamunan Rinjani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Bermain Cinta dengan Mapala
AdventureBerkisah tentang dua sosok yang bertolak belakang. Dipertemukan di lembah kasih, lembah Mandalawangi. Ketika senja menari bagai parade alam yang tak hentinya menghibur mata. Rinjani dengan pembawaannya yang tenang. Sementara Arjuna egois, keras kepa...