Cendrawasih Berkicau Tak Seperti Biasa

621 68 8
                                    

Perbedaan itu indah.
Yang tidak indah adalah saling menjatuhkan karena perbedaan tersebut.

Cuaca Surabaya hari ini cocok sekali untuk digunakan jalan-jalan. Mendung tipis menghiasi langit. Semilir angin terasa menyegarkan. Berbeda sekali dengan hari-hari biasanya. Untuk hari ini Surabaya bisa dibilang mirip Malang.

Rinjani merapikan barang-barangnya kemudian memasukkannya ke dalam carier. Dia berencana untuk pulang ke rumah. Sudah hampir tiga bulan dia tidak pulang lantaran padatnya jadwal kuliah dan kegiatan di Cendrawasih. Rumahnya hanya berperan sebagai tempat singgah jika ada barang penting yang harus diambil.

Suasana sekretariat sepi sekali. Beberapa anggota Cendrawasih masih ada yang UAS. Kerinci sedang membeli sarapan. Sementara Pawitra sedang UAS.

Assalamu’alaikum,” sapa Mas Agung memecah keheningan.

Rinjani menoleh, “Wa’alaikumsalam,” jawabnya.

“Lho, sendirian aja, Dek?”

“Iya, Mas. Pawitra lagi UAS, Kerinci lagi beli sarapan.”

“Kerinci sama Pawitra udah balik dari Jogja? Kok cepet, Ni?” tanya Mas Agung keheranan.

“Udah. Tadi jam setengah empat sampai Surabaya bareng aku.”

Lagi-lagi Mas Agung keheranan.

"Lho, kok bareng kamu, Dek? Emang kereta dari Jember ada ya yang jam segitu?”

Rinjani terdiam sejenak sebelum akhirnya dia menjawab pertanyaan Mas Agung, “Aku habis dari Jogja, Mas. Ada perlu di sana. Kemarin sebelum berangkat aku udah SMS Mbak Wilis kok.”

“Ada perlu apa?”

Sebelum Rinjani sempat menjawab, Mbak Wilis memasuki ruangan dan berkata, “Eh, Ni, udah pulang? Gimana MBSC-nya? Hmm…aku baru tahu loh kalau MBSC sekarang udah pindah ke Jogja.”

Rinjani hanya terdiam. Dia menangkap nada sindiran dalam perkataan Mbak Wilis barusan.

“Hah? Sejak kapan MBSC pindah ke Jogja?” Mas Agung kembali keheranan.

“Tanya aja sama adek kesayanganmu itu,” Mbak Wilis memandang sengit ke arah Rinjani.

“Maksudmu apa sih, Mbak?” Rinjani akhirnya angkat bicara.

“Kamu itu yang maksudnya apa? Pulang MBSC bukannya balik sekret malah ngeluyur ke Jogja!” kata Mbak Wilis dengan nada tinggi. Sepertinya dia marah sekali.

“Kalau aja kemaren nggak ada anak Cartenz yang bilang salah satu temen satu kelompokku ada yang ilang di Merapi, aku juga nggak akan pergi ke Jogja, Mbak!” seru Rinjani menggebu-gebu.

Mbak Wilis mengibaskan tangannya ke udara.

“Alah, kamu itu cari alesan aja. Biar bisa maen ke Jogja. Terus ketemu deh sama Arjuna. Iya, kan?”

“Kamu nggak berhak bicara kayak gitu, Mbak. Kamu itu nggak tahu apa-apa.” Rinjani bangkit sambil membawa carier.

Mbak Wilis tertawa sinis. “Iya lah aku nggak tahu apa-apa. Aku nggak tahu seluk beluk dunia pecinta alam dengan baik. Aku ini emang payah, Ni. Nggak sehebat kamu," tutur Mbak Wilis dengan penuh penekanan di tiga kata terakhir.

Tertegun. Rinjani tidak menyangka jika gadis yang dianggap kakaknya sendiri itu, melontarkan hal-hal yang tidak ingin ia dengar.

Seolah belum puas, Mbak Wilis melanjutkan perkataannya, "Lihat aja kamu! Temen mulai dari Sispala, Mapala, OPA sampe yang freelance pun ada. Kita semua di Cendrawasih itu nggak ada apa-apanya dibanding kamu. Mending kamu pindah ke Akasia aja. Bukannya selama ini kamu selalu mengelu-elukan Akasia. Akasia ini lah, Akasia itu lah. Buatmu Jogja itu is the best kan. Enak loh! Bisa ketemu Arjuna tiap hari. Lagian kita juga nggak butuh anggota kayak kamu!”

Jangan Bermain Cinta dengan MapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang