Kami Tak Seburuk Itu!

534 52 12
                                    

Mayoritas orang hanya memahami teks bukan konteks

Sinar matahari begitu menyengat hari ini. Rinjani baru saja menjemur cucian. Banyak baju kotor yang menumpuk di bak cucian.

Itung-itung bantu Ibu. Mumpung lagi ada di rumah.

Rumahnya sepi pada jam-jam seperti ini. Ayahnya bekerja sebagai sopir angkutan umum, sedangkan ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di perumahan yang tak jauh dari rumahnya. Sementara adiknya belum pulang sekolah.

Rinjani memang tak berasal dari keluarga yang berada, tapi bisa dibilang cukup. Tapi semenjak ayahnya tak lagi bekerja sebagai Pemasang Tower, kerap masalah ekonomi menjadi masalah utama dalam keluarganya. Keinginan Rinjani untuk melanjutkan studi yang awalnya disetujui pun akhirnya menjadi permasalahan baru. Ibunya selalu membandingkan dia dengan anak tetangga yang sebaya dengannya yang memilih bekerja.

Di tempat tinggal Rinjani, memang kebanyakan memilih bekerja daripada kuliah. Masih saja mengacu pada budaya lama jika wanita itu pada akhirnya bekerja di dapur. Jadi tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Pemikiran kuno yang tak akan membangun Indonesia menjadi Negara Maju. Kira-kira seperti itulah suara hati Rinjani saat mendengar para tetangga menjadikannya bahan perbincangan.

Jika di rumah, Rinjani lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Selain hobinya di alam bebas, dia suka sekali menulis. Baginya tak ada teman yang lebih setia, selain bolpoin dan binder kesayangannya. Karena mereka yang selalu menemaninya setiap detik. Sering kali dia menceritakan keluh kesahnya di Cendrawasih atau masalah keluarganya.

Doni, adik semata wayangnya, sering menghampiri ke kamar. Entah untuk menjahilinya, bergurau atau sharing masalah materi. Kebetulan adiknya juga ikut Sispala. Tak jarang dia tertidur di kamar Rinjani.

Sedangkan dengan sang ibu, mereka jarang sekali berbicara. Bukan karena dia malas bicara atau apa. Dia hanya tak ingin ada adu mulut. Malu rasanya jika sampai tetangga mendengar keributan mereka. Sering kali suatu topik pembicaraan sepele menimbulkan selisih pendapat diantara mereka. Argumen ibunya tak mau dikalahkan. Rinjani pun malas berdebat.

Berbeda sekali dengan ayahnya. Jika bertemu, mereka sering mengobrol atau hanya sekedar bergurau. Rinjani lebih cocok dengan ayahnya. Yang tidak disukai dari ayahnya adalah jiwanya yang terkadang masih seperti anak muda. Itu saja.

Terdengar suara ibu yang memasukkan sepeda. Saat itu Rinjani baru saja selesai menunaikan ibadah sholat duhur.

Beberapa menit kemudian terdengar suara ibunya dari balik pintu.

“Itu tadi cuciannya kamu bilas berapa kali?” tanyanya.

“Dua kali,” jawab Rinjani singkat.

Kemudian terdengar suara pintu yang dibuka secara kasar. Ibunya mengambil semua cucian yang baru saja dijemur Rinjani.

“Harusnya itu tiga kali! Nggak usah dicuci kalau keberatan. Biasanya juga ibu sendiri kok yang nyuci kalau nggak ada kamu. Pulang kerja udah kepanasan, di rumah ada anak malah makan ati. Nggak usah dibantuin! Tangannya ibumu juga masih kuat kok.”

Terpekur. Rinjani merasakan dadanya tiba-tiba ditimpa dengan benda yang membuatnya sesak.

“Lagian kamu ngapain sih pulang? Bukannya lebih enak di sana. Hidup bebas. Semaumu. Tidur seharian juga nggak ada masalah. Enak nggak ada yang marahin. Naruh barang bisa semaunya. Kalau aku ya nggak bisa hidup di tempat kumuh kayak gitu.”

Terdengar langkah kaki ibunya yang mondar mandir dari depan ke belakang. Rinjani memilih untuk tetap diam di dalam kamar. Mencoba menenangkan hatinya.

Jangan Bermain Cinta dengan MapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang