Ada baiknya untuk pergi sejenak
Di saat akal dan hati tak mampu diajak berdiskusiAda awal, ada akhir. Ada pertemuan, ada juga perpisahan. Ibarat siang dan malam, langit dan bumi serta sederetan perumpamaan lainnya. And it’s time to say good bye to Jogja for Rinjani, Kerinci and Pawitra. Mereka menyalami Mbak Era, Capung dan Bemo secara bergantian.
“Makasih ya, Mbak Er. Makasih buat semuanya,” pinta Rinjani sambil memeluk Mbak Era.
“Iya, Ni. Sama-sama. Jangan sampai kapok maen ke Jogja gara-gara masalah ini ya!” nasehat Mbak Era.
Rinjani melepaskan pelukannya lalu tersenyum. “Iya, Mbak. Aku nggak kapok kok. Insyallah kalau ada waktu aku pasti ke sini, tapi nggak dalam waktu dekat.”
“Pung, Mo, thanks ya. Kita balik dulu,” pamit Pawitra.
“Sip. Ati-ati, Bro,” sahut Capung. Bemo hanya mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.Kerinci dan Pawitra berjalan melewati petugas yang memeriksa tiket.
“Kalau udah sampai, SMS ya, Ni,” seru Mbak Era. Rinjani mengangguk lalu dia berjalan mengikuti Pawitra dan Kerinci. Mereka bertiga berjalan memasuki kereta.
Lima menit kemudian kereta mulai bergerak meninggalkan Lempuyangan. Sepasang mata Rinjani sempat melihat dua orang yang dikenal sedang memohon agar diperbolehkan masuk. Nampaknya petugas menolak permintaan itu dengan sopan. Karena tidak lama setelah itu, mereka membalikkan badan.
Mungkin jarak adalah yang terbaik untuk saat ini, Juna.
Handphone Rinjani berbunyi. Arjuna. Sempat bingung antara menjawab atau tidak. Namun jemarinya bergerak menekan tombol hijau dan mendekatkan tombol kecil itu di telinganya.
“Maaf, Ni. Aku nggak bermaksud nyembunyiin apapun dari kamu,” pinta Arjuna di seberang.
Rinjani hanya terdiam tak menjawab. Menunggu laki-laki itu melanjutkan kalimatnya.
“Aku mau jelasin semuanya, Ni. Tolong jangan pulang sekarang! Kamu bisa turun di stasiun selanjutnya. Nanti aku jemput kamu di sana. Tinggal di sini sehari aja,” Arjuna memohon.
“Maaf, banyak urusan yang harus aku selesaikan di Surabaya,” jawab Rinjani kemudian.
Tidak ada sahutan. Yang terdengar hanya helaan napas. Dan itu berlangsung selama beberapa menit.
“Jaga diri baik-baik!”
Akhirnya Rinjani memilih untuk mengakhiri pembicaraan tersebut. Kerinci dan Pawitra yang sedari tadi memperhatikan tingkah Rinjani hanya bisa terdiam. Tak banyak yang bisa mereka lakukan. Karena mereka juga tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Kini, Rinjani nampak sedang memikirkan sesuatu. Sekalipun matanya tertuju pada pemandangan dari balik kaca, namun pikirannya tidak berada disana. Sebenarnya dia juga tidak tega meninggalkan Arjuna dengan cara seperti ini. Batinnya pun menolak. Tapi posisinya serba sulit. Untuk saat ini hanya itu yang bisa dia lakukan.
“Kamu kenapa sih, Ni? Sikapmu ke Arjuna itu nggak kayak biasanya?” tanya Kerinci sambil membelai rambut sahabatnya itu.
Rinjani menyandarkan kepalanya di bahu Kerinci lalu dia menceritakan semuanya. Mulai dari berita hilangnya Rengganis, kedatangannya yang tiba-tiba ke Jogja, insiden di Balerante, album foto Silva sampai penuturan Gede tentang Rengganis.
“Sabar ya, Ni."
Hanya itu yang dapat dikatakan oleh Kerinci. Terlalu banyak kejadian beruntun yang ia dengar. Otaknya tidak dapat menangkap informasi yang disampaikan secara runtut. Harus berkala. Lalu, bagaimana dengan Rinjani yang mengalami itu semua?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Bermain Cinta dengan Mapala
AventuraBerkisah tentang dua sosok yang bertolak belakang. Dipertemukan di lembah kasih, lembah Mandalawangi. Ketika senja menari bagai parade alam yang tak hentinya menghibur mata. Rinjani dengan pembawaannya yang tenang. Sementara Arjuna egois, keras kepa...