Suara Hati

531 45 8
                                    

Ada yang bilang,
Orang yang tidak mau mengungkapkan perasaannya,
Adalah pecundang yang bersembunyi di balik nama persahabatan.

"Belum terlambat, Tra."

Suara Kerinci membuat Pawitra mengalihkan pandangan dari layar laptop. Membuyarkan lamunan yang sedari tadi menghantui pikiran. Entah sejak kapan gadis itu datang. Atau lebih tepatnya, sejak kapan gadis itu memergoki Pawitra menatap kosong ke arah gambar yang ada di layar?

"Terlambat apanya?"

Lagi-lagi Pawitra berpura-pura. Dia tahu betul apa arti ucapan Kerinci. Hanya saja...

"Yang aku tahu, memendam perasaan itu menyiksa. Kadang kita harus pura-pura menekan gemuruh di dada. Yang aku tahu, hanya orang-orang egois yang nggak mau mengungkapkan perasaan mereka."

Pawitra menghembuskan napas. Pelan, tapi agak berat. "Bukan begitu. Aku cuma..."

"Kamu cuma takut ditolak. Kamu takut Rinjani nganggep kamu nggak lebih dari seorang sahabat. Iya kan?" Kerinci memotong kalimat Pawitra. Badannya bersandar di pintu sambil melipat kedua tangan. Dia sudah jengah melihat sikap sahabatnya itu.

Mata Pawitra membulat. Semua yang dikatakan Kerinci benar. Kini dia tidak tahu harus berkata apa. Biasanya, jika Kerinci sudah berkata demikian, dia akan bersikeras membantah. Jika Kerinci mendesak, dia akan memilih untuk meninggalkan gadis itu. Kali ini situasinya agak berbeda. Entah kenapa, dia merasa butuh tempat untuk bercerita.

Setelah menyandarkan punggung ke tembok, Pawitra kembali memandangi layar laptopnya.

"Aku bingung sama perasaanku sendiri," Pawitra mulai bercerita. "Dulu, kupikir semua akan baik-baik aja waktu aku milih buat nyimpan ini sendirian. Sekarang, waktu Rinjani sama Arjuna makin deket, rasanya hatiku pengen berontak."

Kerinci mendengus kecil. Berjalan perlahan lalu duduk di samping Pawitra. Untungnya siang itu sekretariat Cendrawasih sepi. Tidak ada anggota lain di sana. Jadi mereka bisa mengobrol dengan leluasa.

Sepasang mata Kerinci memperhatikan Pawitra sejenak, lalu mengikuti arah pandangan sahabatnya itu. Potret Rinjani selama pendakian ke Arjuna kemarin memenuhi layar. Hanya potret Rinjani yang memang sengaja disimpan oleh Pawitra. Kerinci tahu, di salah satu folder di laptop ini, Pawitra menyimpan potret Rinjani lebih banyak lagi.

"Ini udah saatnya kamu bilang ke Rinjani, Tra."

Terdengar helaan napas. "Aku bingung harus bilang apa sama Rinjani. Rasanya aneh aja kalau mendadak aku bilang cinta sama dia."

"Seenggaknya kamu udah jujur sama perasaan kamu sendiri dan juga Rinjani."

Pawitra menoleh. Dia tidak tahu apa yang baru saja dimakan oleh Kerinci. Tidak biasanya dia setuju dengan pendapat gadis ini. Apalagi jika itu soal hati.

"Aku nggak tahu harus ngejelasin mulai dari mana."

"Mulai dari yang kamu rasain."

Kening Pawitra bertautan.

"Jelasin mulai dari yang kamu rasain," Kerinci menarik tangan kiri Pawitra, kemudian meletakkannya di dada.

"Dari hati?"

Senyum Kerinci mengembang. "Semua hal yang kita rasain berasal dari hati. Jadi kamu bisa bicara mulai dari situ."

Tidak ada jawaban. Pawitra terlihat sedang berpikir keras. Menimbang-nimbang apa yang selanjutnya harus dia lakukan.

Jangan Bermain Cinta dengan MapalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang