Hanya memperhatikanmu saja,
Itu membuatku merasa nyaman
*** ***
"Yerin-ah.."
Yerin melenguh saat mendengar namanya dipanggil beberapa kali, berusaha membangunkannya dari bunga tidurnya. Yerin kenal suara siapa itu. Itu ibunya. Wanita kuat yang selalu berada di sampingnya.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu membuka matanya. Beberapa kali mengerjap, menyesuaikan pandangannya dan menemukan wajah sang Ibu berada di atasnya, menatapnya dengan kerutan halus di kening beliau. Yerin tersenyum, senyum lebar seperti biasanya.
Kembali Yerin memejamkan matanya, meresapi setiap sentuhan yang diberikan ibunya. Yerin sangat menyukainya. Akan selalu menyukai sentuhan ibunya. Ibunya selalu membuatnya tenang dengan usapan lembut di puncak kepalanya.
"Jung Yerin ...." Ibunya kembali memanggil.
Yerin berdeham, menikmati setiap detiknya bersama sang ibu. Yerin suka keadaan tenang, di mana hanya terdengar desah angin yang berusaha mengembuskan tirai putih gading jendela rumah mereka. Perlahan, dia mengembuskan napasnya. Yerin pikir semua masalahnya akan sirna jika dia berada di sana, bersama keluarganya –ibu dan ayahnya. Juga, berada di rumah hangat mereka.
"Yerin, bangun, Sayang.."
Gadis itu kembali membuka matanya, tangan kanannya menengadah di atas kening, berusaha menghalau sinar mentari sore yang tidak terlalu menyilaukan pada hari itu. Yerin mengalihkan pandangannya, menatap sang Ibu yang tersenyum kecil. Yerin ikut tersenyum. Senyuman ibunya adalah senyuman terhangat yang pernah dia lihat, melebihi matahari di sore hari.
Yerin menggerakkan tangannya ke wajah ibunya, menyentuh kulit yang mulai keriput sambil tersenyum miris, "Ibu, Yerin tidak ingin tumbuh dewasa. Yerin masih ingin menjadi anak kecil bagi Ibu dan Ayah. Yerin tidak ingin melihat Ayah dan Ibu tua dan akhirnya—" Yerin mengatupkan mulutnya, enggan melanjutkan perkataannya. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya ke ruang tamu yang terasa begitu senyap dan lalu pandangan gadis itu mengarah kembali ke sang Ibu. Yerin tersenyum kecil ketika melihat wajah ibunya. "—mari hidup bersama sampai akhir."
Ibu Yerin menggerakkan tangannya untuk menyentuh tangan anaknya, ibu jari keriput bermain di atas punggung tangan anaknya. Ibu Yerin menggeleng perlahan sebagai jawabannya saat kedua netranya menatap mata sang anak yang gemetar. "Tidak, Sayang. Ibu tidak ingin kau terus menjadi anak kecil. Ibu akan menyesal jika tidak melihatmu tumbuh. Ibu ingin kau menikmati hidup ini. Setidaknya, jika kami mengakhiri hidup nanti, kau sudah menjadi wanita yang bahagia."
Air mata menumpuk di pelupuk mata Yerin. Gadis itu tak kuasa menahan tangisnya. Beberapa detik kemudian, semuanya pecah. Yerin meluapkan perasaannya. Gadis itu terisak di perut sang ibu, menumpahkan air matanya di sana, membiarkan ibunya mengusap puncak kepalanya lebih lama lagi. Yerin tidak ingin melihat orang tuanya sedih, tetapi dia juga tidak ingin kehilangan mereka dan hidup sendiri di dunia ini.
"Yerin janji akan hidup dengan bahagia karena Yerin mencintai Ibu dan Ayah. Ibu tahu itu bukan?"
Ibu Yerin tersenyum kecil melihat wajah anak gadisnya mendongak ke arahnya dengan mata sembab dan hidung berair. Ibu jarinya mengusap pipi berisi anak gadisnya, mengangguk kecil."Ya, Ibu tahu."
*** ***
Mata Yerin terbuka, menyipit ke sepenjuru ruangan, memerhatikan orang-orang dengan pakaian serba hitam berada di depannya. Membakar dupa di atas meja, tempat di mana mereka memajang pigura ibunya yang sedang tersenyum lebar. Orang-orang itu datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ibunya. Mereka membungkukkan badannya di hadapan mendiang sang ibu.
Yerin menyentuh wajahnya, mengecek apakah ada kotoran di sana karena tanpa sadar dia jatuh terlelap di rumah duka. Yerin mengernyit saat dirasanya pipinya basah. Dia menangis?
Yerin tersentak saat bibinya yang duduk di sampingnya menepuk pahanya, berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan. Yerin mengangkat wajahnya kemudian membungkukkan badannya kaku ke pelayat yang juga membungkuk ke arahnya. Yerin kembali duduk ke tempatnya beberapa detik kemudian dan dia memfokuskan pandangannya ke arah lantai cokelat di depannya.
Matanya kembali berair saat mengingat senyum mendiang ibunya. Gadis itu bahkan masih bisa merasakan bagaimana ibunya membelai rambutnya, menyisipkan beberapa helai rambutnya ke belakang daun telinga dan dirinya tidak bisa melupakan tatapan penuh cinta mipik ibunya hingga saat ini. Mungkin kejadian itu terjadi sebelum ibunya sakit parah –setahun atau dua tahun lalu—, tapi Yerin merasa hal tersebut baru terjadi beberapa detik lalu. Jemari ibunya dan ciuman di puncak kepalanya. Mereka masih membekas di sana, di hatinya.
Yerin kembali merasakan sesak memenuhi dadanya. Dia tidak dapat bernapas dengan baik karena paru-parunya kini disesaki perasaan yang merundung. Semua kenangan yang bertabrakan dalam memorinya meraup seluruh oksigen di sekitarnya. Menyiksanya. Membuatnya terpojok di ruang yang semakin menyempit.
Tangan Yerin mengepal, menahan gejolak dalam dadanya. Perutnya terasa melilit. Yerin menggigit bibirnya, menahan erangan sakit yang ingin keluar dari bibirnya. Yerin sakit. Sangat sakit.
"Tidak apa-apa. Kau tidak apa-apa, Yerin-ah." Yerin mendongak. Matanya yang terasa berat masih dapat melihat dengan baik siapa yang duduk di hadapannya. Tersenyum ke arahnya dan mengarahkan tangannya ke pipinya, mengusap mereka dengan lembut.
Itu Lee Jeongha –sahabatnya. Gadis itu datang dengan tatapan penuh duka kemudian merentangkan kedua tangannya, membawa Yerin ke dalam pelukannya. Yerin tersedu. Gadis itu menangis dalam dekapan erat Jeongha.
"Aku lelah, Jeongha-ya. Aku lelah," ujar Yerin sambil terus membenamkan wajahnya, mencari kenyamanan tersendiri. Akan tetapi, tak peduli seberapa banyak Yerin mengeluh pada sahabat baiknya itu, hal tersebut tidak akan mengubah kenyataan. Dia masih lelah, dan sepertinya kelelahannya tidak akan berakhir dengan cepat.
"Aku lelah, Jeongha-ya ..." Yerin menarik napas dan mengembuskannya dengan kasar. Air mata itu kembali jatuh. "... seandainya kau ada di sini. Aku pasti akan berdiri lebih kuat dan menghadapi kenyataan ini. Seandainya kau di sini, menghiburku."
Yerin memeluk kedua kakinya, menangis di sana. Gadis itu bahkan merasa begitu miris karena berharap sahabatnya datang ke pemakaman ibunya untuk memeluknya dan menenangkannya. Ya, semua itu hanya harapan. Harapan yang tidak akan pernah terwujud karena Yerin tahu bahwa Jeongha tidak ingin lagi menyebut namanya pun melihat wajahnya. Akan tetapi, salahkah Yerin jika dia masih berharap Jeongha datang ke sini untuk menghibur dirinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
#2 DEVIL'S TEMPTATION [TAEHYUNG-YERIN] ✔
Fanfiction"Panggil namaku, Jung Yerin," Yerin terdiam, memerhatikan Taehyung yang sedang merendahkan tubuhnya, wajah laki-laki itu kini sejajar dengan miliknya. Yerin dapat melihat senyum Taehyung yang sangat ia benci itu dari dekat, "..dan buatlah perjanjian...