Hari ketiga.
Perhatian Yerin beranjak ke foto ibunya yang sedang tersenyum. Kakinya melangkah kecil, ragu mendekati mendiang ibunya untuk terakhir kali. Yerin tahu di balik tirai tersebut, di sana ada ibunya. Berbaring dengan tenang.
Tangan Yerin terangkat, menyentuh wajah ibunya yang tersenyum. Perlahan gadis itu menipiskan bibirnya, membentuk senyum.
"Selamat beristirahat dengan tenang, Ibu. Aku akan merindukanmu sama seperti orang-orang." Gadis itu menolehkan kepalanya, mendapati beberapa teman ibunya yang mengenakan pakaian serba hitam sedang mengenang ibunya. Mereka berusaha mengantarkan ibunya dengan baik dan Yerin tersenyum hangat mendapati hal tersebut.
Yerin kemudian membawa foto ibunya, menopangnya dengan kedua telapak tangannya. Kepalanya menunduk sedih diikuti dengan mendiang ibunya di peti kayu yang dibawa pihak laki-laki keluarganya. Gadis itu membawa tungkai kakinya keluar dari rumah duka dan berjalan ke mobil ambulan yang siap membawa peti ibunya.
Yerin mendekap erat foto ibunya kala dia mendengar suara berbisik di belakangnya. Gadis itu bahkan mendapatkan tatapan dari beberapa pasang mata yang siap menelanjanginya. Sejujurnya, Yerin risih dengan hal tersebut, namun dia tidak dapat berbuat banyak. Ini hari terakhir dia dengan ibunya dan dia tentu saja tidak ingin mengganggu waktu seperti ini. Yerin tidak peduli jika keluarga mereka menjadi bahan omongan para pelayat.
"Kasihan sekali Nyonya Jung. Kudengar penyakitnya begitu parah."
"Benarkah? Bukankah keluarga Jung adalah salah satu keluarga yang mumpuni dalam segi keuangan? Kenapa Nyonya Jung tidak menerima pengobatan?"
"Ei— kau tidak tahu? Tuan Jung terkena tuduhan penggelapan di perusahaannya bekerja dan beliau telah dipecat."
"Benarkah Tuan Jung seperti itu? Kurasa—"
"Kau benar-benar tidak tahu? Semua orang di komplek ini membicarakan banyak tentang Tuan Jung. Setelah Tuan Jung dipecat, beliau benar-benar menunjukkan jati dirinya. Yang dikerjakan laki-laki itu hanya mabuk-mabukkan dan berjudi!"
"Aku tidak menyangka, kukira selama ini Tuan Jung adalah suami dan ayah yang baik. Benarkah?"
"Itu hanya kedok. Ke-dok. Lihatlah selama upacara kematian istrinya, kemana dia?"
Yerin menggeleng, tidak melepaskan foto ibunya dalam dekapan. Dalam hatinya, dia berharap ibunya tidak bersedih mendengar hal tersebut. Bagaimanapun juga, pada hari terakhir seharusnya orang-orang mengiringi mendiang ibunya dengan cerita yang baik-baik, bukannya seperti ini.
Gadis itu terpaku di tempat. Tak ingin melangkahkan kakinya menyusul Bibinya yang sudah berada di ambulan, menemani mendiang ibunya menuju tempat peristirahatan terakhir. Bibi Yerin mengembuskan napasnya, melihat anak dari kakaknya tersedu. "Yerin-ah.."
Yerin mendongak kala namanya dipanggil dan dirinya bertemu pandang dengan mata sendu bibinya. Bibinya tersenyum tipis sambil mengulurkan tangannya pada Yerin yang masih sesenggukkan. "Ayok, Sayang. Bukankah kau ingin melihat ibumu beristirahat dengan tenang untuk terakhir kalinya, hm?"
"Tapi Ayah—"
Bibinya menggeleng, memberikan tanda agar Yerin tidak melanjutkan perkataannya. Yerin menatap bibinya nanar. Dia tentu mengerti bagaimana sakitnya hati sang Bibi, suami kakaknya tidak menghadiri pemakaman sang kakak. Kepala Yerin tertunduk, pandangannya tertancap pada aspal yang diinjak.
"Yerin-ah.."
Dengan terpaksa, Yerin masuk ke dalam, duduk di sebrang bibinya. Suara pintu ambulan yang tertutup kencang tidak membuat Yerin mengalihkan pandangannya. Gadis itu tetap mempertahankan pandangannnya ke arah kerumunan pelayat. Berharap Ayahnya ada di sana. Melambaikan tangannya sembari berlari mengejar ambulan yang berjalan pergi.
*** ***
Ini hari keenam setelah kepergian ibunya. Yerin merasa kehampaan saat netranya memindai ruang tamu rumahnya dan tidak menemukan ibunya di sana. Yang tersisa hanyalah foto ibunya yang tersenyum dengan dupa yang terbakar serta buah-buahan di meja kecil. Yerin melangkahkan kakinya dan merasakan kebahagiaan absolut saat matanya menangkap senyum ibunya.
"Ibu, apakah Yerin akan baik-baik saja?"
Bahu Yerin jatuh, pandangan gadis itu juga ikut jatuh. Kepalanya tertunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengaliri pipinya. Yerin tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini dia selalu berakhir menangis. Hal kecil selalu membuatnya bersedih. Yerin selalu larut dalam kesedihan dan dia lelah dengan hal itu, apakah ada cara lain untuk mengakhiri semuanya?
Gadis itu meremas ujung cardigan kuning cerahnya, mendesah pendek dan selanjutnya mendongakkan kepalanya lalu tersenyum. Punggung tangan gadis itu membersihkan sisa air mata yang belum sepenuhnya mengering di pipinya itu. "Ibu, Yerin akan baik-baik saja! Yerin pergi kuliah terlebih dulu!" seru gadis itu sembari berlari kecil keluar dari rumahnya.
Bibinya benar. Yerin harus hidup bahagia dan membiarkan ibunya bahagia di atas sana.
*** ***
Waktu istirahat antara mata kuliah yang satu dengan mata kuliah lainnya cukup panjang dan membuat Yerin memilih untuk menghabiskan waktunya di kantin, mengisi perutnya yang keroncongan karena sedari pagi belum diisi sama sekali. Gadis itu melangkah kecil dan penuh hati-hati saat menaiki tangga untuk mencapai kantin. Yerin menggenggam tangannya sendiri saat tatapan-tatapan nakal yang dilemparkan oleh kumpulan anak laki-laki di depan pintu kantin. Gadis itu melangkah dengan bola matanya yang bergerak liar, mengusir rasa risih yang menggerayangi dirinya.
Yerin merasa beruntung telah melewati kumpulan anak laki-laki dan berjalan lurus. Gadis itu ikut mengantri untuk membeli makanan yang akan memenuhi perutnya. Namun, tidak sengaja netranya menangkap Lee Jeongha dan Park Mira berada di arah jam tiga dari tempatnya. Pandangannya menyusuri kedua temannya itu meski kakinya terus melangkah maju. Gadis itu baru melepaskan pandangannya saat dia harus membayar makanan yang diambilnya.
Yerin berjalan keluar kantin dan telinganya menangkap namanya disebut. Praktis gadis itu menoleh dan menemukan Mira menunjuk ke arahnya.
"Itu Yerin, bukan? Kupikir dia tidak akan kuliah."
Jeongha ikut menolehkan kepalanya. Yerin menegang saat tatapannya bertemu dengan Jeongha selama beberapa detik. Gadis itu menatapnya dingin kemudian membuang muka.
"Kenapa mengurusinya? Kau tidak ingat aku sudah muak padanya." Mata Yerin mengendur mendengar perkataan tajam Jeongha untuknya.
Mira menyikut Jeongha, gadis itu berbicara setengah berbisik, "Kau tidak tahu jika Ibu Yerin sudah meninggal, Jeongha-ya? Kenapa kau masih jahat padanya? Kau seharusnya—"
Yerin melangkah pergi. Gadis itu tidak ingin mendengar lebih jauh perkataan dua teman itu. Dia hanya tidak ingin menjadi gadis yang harus dikasihani. Dia tidak ingin membuat Jeongha semakin membencinya karena dia datang untuk memohon belas kasih kepadanya. Itu hanya akan membuat Yerin semakin merasa bersalah.
Biarlah dia seperti ini. Yerin hanya ingin hidup dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
#2 DEVIL'S TEMPTATION [TAEHYUNG-YERIN] ✔
Fanfiction"Panggil namaku, Jung Yerin," Yerin terdiam, memerhatikan Taehyung yang sedang merendahkan tubuhnya, wajah laki-laki itu kini sejajar dengan miliknya. Yerin dapat melihat senyum Taehyung yang sangat ia benci itu dari dekat, "..dan buatlah perjanjian...