Garis penglihatanku telah jatuh,
Bukan karena aku telah kehilanganmu,
Tapi karena aku tidak bisa menahanmu sekalipun,
Aku merindukanmu sampai mati***
Yerin memaksakan makanan yang berada di sendoknya masuk ke dalam mulutnya. Gadis itu mengunyah pelan, tatapannya sehambar makanan yang berada indera pengecapannya. Tidak ada rasa apapun meski makanan yang sengaja diambil gadis itu adalah makanan kesukaannya.
Satu sendok, dua sendok, tiga sendok.
Gadis itu menelan makananya dengan kesusahan. Pasalnya, makanan yang masuk ke dalam kerongkongannya itu begitu hambar. Yerin makan karena dia hanya merasa butuh. Dia kelaparan, tapi dia tidak memiliki nafsu untuk memakan semua yang ada di atas nampannya. Yerin menjauhkan nampannya, gadis itu mengernyit saat air mineral membasahi kerongkongannya.
"Yerin sunbae?"
Yerin menoleh saat mendengar sebuah suara memanggil namanya. Suara yang dulu selalu membuatnya meremang, hanya dengan mendengarnya. Yerin tersenyum pahit saat melihat figur laki-laki yang tersenyum lembut ke arahnya. Kemana seluruh perasaannya pergi? Mereka seakan menghilang di telan bumi.
Laki-laki itu –Eunwoo— memilih untuk duduk di samping Yerin, menaruh beberapa buku tebal di meja. Yerin mendecih melihatnya. Apakah kehidupan mahasiswa harus memuakkan seperti ini? Datang untuk belajar, pergi kemudian bermain? Apakah dia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih menyenangkan yang lainnya selain berputar dalam siklus tersebut?
"Sunbae datang ke kampus?"
Yerin terdiam, gadis itu justru memainkan kedua ibu jarinya ketimbang menjawab pertanyaan Eunwoo. Sejujurnya, Yerin risih ketika beberapa pasang mata melemparkan pandangannya pada keduanya. Apakah orang-orang itu harus melihatnya seperti itu?
"Kupikir Sunbae tidak akan datang. Kemarin Hyung memberitahuku bahwa Yerin Sunbae tidak bisa ikut latihan karena—"
"Cukup, Cha Eunwoo."
Eunwoo menghentikan ucapannya saat laki-laki itu menangkap nada tidak mengenakkan dari suara Yerin. Gadis itu..., seperti sedang menahan amarahnya saat ini, dan itu memang benar. Yerin memang tengah emosi saat ini. Rasanya semua perkataan Eunwoo adalah sebuah kesalahan dan itu memancing kemarahannya. Yerin tidak suka sebenarnya dengan keadaan ini, tapi dia benar-benar ingin marah. Entah marah untuk Eunwoo atau dirinya sendiri.
Yerin menghela napasnya, menetralkan emosinya. Gadis itu pelan-pelan menolehkan kepalanya dan menemukan tatapan Eunwoo yang penuh tanda tanya ke arahnya. Mungkin laki-laki itu sedang berpikir Yerin yang sekarang sudah kehilang kewarasannya seratus persen karena gadis itu tidak pernah tersulut emosi sekalipun. Yerin selalu siap tersenyum dan berdiri tegak, berbeda dengan sekarang yang selalu tampak murung dan menurunkan bahunya. Iya, pasti begitu.
Yerin tertawa kecil ketika pikiran itu muncul tiba-tiba dalam benaknya. Eunwoo pasti sangat terkejut saat ini ketika mendapati fakta bahwa Yerin berubah. Gadis itu berubah karena keadaan yang mengubah semuanya.
Yerin bangkit dari duduknya, netranya menatap lekat Eunwoo, "Eunwoo, ingat apa yang kukatakan padamu? Berhenti bersikap bodoh seperti ini. Jika memang kau menyukaiku maka menjauhlah dariku mulai saat ini karena aku membencimu, bajingan."
Yerin berbalik, meninggalkan Eunwoo di belakang. Gadis itu melangkah lebar. Bibirnya menggerutu kecil. Dia benar-benar merasa kesal. Kesal pada dirinya sendiri karena melampiaskan semuanya pada Eunwoo yang notabene tidak tahu apa-apa. Yerin merasa bersalah. Sangat bersalah. Ingin sekali dia berbalik, kembali pada Eunwoo dan meminta maaf. Akan tetapi, rasa gengsi mengalahkan hati kecilnya.
Yerin tetap berjalan hingga dia berada di gerbang depan kampusnya. Dia sudah memutuskan untuk tidak mengikuti kelas selanjutnya karena pikirannya bercabang saat ini. Yerin yakin bukannya semakin membaik, justru sebaliknya. Jadi, gadis itu memutuskan pulang dan menenangkan diri di rumahnya.
Yerin mengulurkan tangannya, bermaksud memanggil taksi yang berjalan ke arahnya, tapi dia mengurungkan niatnya. Gadis itu kembali menarik tangannya, dia lupa jika dia hanya memiliki sedikit uang untuk hari ini. Bibinya hanya meninggalkannya beberapa ribu won untuk minggu ini. Terpaksa Yerin harus berjalan ke halte bus dan menaiki bus ke rumahnya.
Yerin berhenti saat gadis itu merasakan getaran ponsel di tasnya. Tangannya mengambil ponsel tersebut dan menemukan nama sang bibi di sana. Tanpa ragu dia menggeser layar ponselnya, menerima panggilan tersebut, "Halo, Bibi—"
"Yerin-ah, ada yang ingin Bibi katakan padamu." Suara sang Bibi terdengar dari seberang sana. Yerin meneguk ludahnya gugup saat menangkap nada serius dari suara bibinya. Gadis itu hanya bergeming membiarkan bibinya melanjutkan niatnya dan gadis itu semakin cemas saat mendengar jelas helaan napas sang bibi.
"Bibi dan Ibumu sangat dekat, Yerin-ah. Kau bahkan Bibi anggap sebagai anak sendiri. Kau anak yang baik dan menyenangkan. Bibi sangat menyukaimu." Meski bibinya mengatakan hal seperti itu, Yerin tetap merasakan kekhawatiran menggerayangi dirinya. Lututnya bahkan lemas, bergetar. Gadis itu menggigit bibirnya, menerka apakah pikiran buruknya saat ini akan menjadi kenyataan?
"Yerin-ah, kau masih di sana, ya kan?"
"I-iya."
"Syukurlah." Bibinya terdengar senang. Wanita itu kembali melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda beberapa waktu lalu, "Waktu kau kecil Bibi ingat sekali Ibumu sering membantu Bibi. Jadi ketika Ibumu sudah meninggalkan dunia ini, memori itu terputar kembali. Maka dari itu, Bibi ingin sekali melindungimu, Sayang."
Dada Yerin bergetar mendengar suara bibinya yang terdengar antusias ingin melindunginya. Perkataan bibinya membuat Yerin terenyuh. Rasanya berdebar dan menyenangkan. Gadis itu merasa kehidupannya kembali saat mendengar seseorang ingin mengulurkan tangan pada dirinya.
"Bibi akan terus membantumu, Yerin-ah. Apapun yang kaubutuhkan, Bibi berjanji akan berusaha untuk memenuhinya..."
"Te-terima kasih, Bi."
"Iya, tidak usah berterima kasih, Yerin-ah. Kita ini keluarga." Yerin dapat mendengar tawa kecil bibinya di sana, "Ngomong-ngomong, bagaimana Ayahmu, Sayang? Apa dia baik-baik saja, hm?"
Yerin menggigit bibir bawahnya, bola matanya bergerak ke atas, fokus dengan dedaunan yang berada di atas kepalanya. Dia bingung menjawab pertanyaan bibinya. Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya jika ayahnya belum kembali sampai saat ini?
"Ayah—"
Helaan napas bibinya terdengar sebelum wanita itu kembali membuka suara, "Pasti dia belum kembali, ya kan? Kau tidak perlu mengatakannya jika kau memang merasa tidak perlu untuk melakukannya. Aku tahu laki-laki itu tidak akan kembali secepat ini, entah pergi kemana dia. Ayahmu itu selalu merepotkan. Bibi harap kau tidak sepertinya, Yerin-ah."
Yerin tertegun. Gadis itu meneguk ludahnya dengan kasar. Rasa bersalah menyergap hatinya ketika mendengar penuturan sang bibi. Merepotkan orang lain, ya? Bukankah keberadaan Yerin saat ini juga merepotkan bibinya?
"Yerin-ah, kau masih di sana, Sayang?"
"I-iya."
"Baguslah. Belajar dengan baik, Bibi akan memutuskan sambungan panggilannya. Sampai jumpa, Sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
#2 DEVIL'S TEMPTATION [TAEHYUNG-YERIN] ✔
Fanfiction"Panggil namaku, Jung Yerin," Yerin terdiam, memerhatikan Taehyung yang sedang merendahkan tubuhnya, wajah laki-laki itu kini sejajar dengan miliknya. Yerin dapat melihat senyum Taehyung yang sangat ia benci itu dari dekat, "..dan buatlah perjanjian...