Yam scepat kilat bergerak ke samping kanan putrinya, agar putri semata wayangnya tersebut tidak melihat kejadian menyakitkan yang sekejab lagi akan melintas, cukuplah dirinya saja yang menelan kepahitan ini jangan sampai hati putrinya ikut terluka. diajaknya sang putri Dian ngobrol dengan asik meneruskan obrolannya yang tadi sudah cukup lama dan membuat Yam sudah cukup agak bosan. Namun kali ini Yam sangat sibuk menanyakan obrolan yang tadi sudah dijawab oleh Dian. Sementara Dian merasa ibunya asik dengan ceritanya maka ia menjawab setiap pertanyaan ibunya dengan penuh semangat.
"Sayang, sampai dimana tadi crita kita?"
"Sampai ke temanku SMP bu Ranti, ternyata di sekarang sekolah di SMU 1, padahal dulu pendiam banget bun."
"Loh apa hubungannya pendiam sama orang pinter sayang?"
"Ya ada bun, misalnya dia tidak pernah berani bertanya pada guru, ngobrol-ngobrol sama teman juga jarang bun."
"Bertanya terus juga bukan berarti pinter kan sayang, bisa juga karena dia tidak memperhatikan guru, jadi setelah selesai guru menerangkan dia tidak mengerti, makanya dia nanya terus."
"Hihi, iya sih bund, tapi Ranti juga tidak masuk 10 besar di kelas bun."
"Bisa seperti itu tetapi pada saat ujian teryata Ranti dapat nilai 10 semua, bisa lah sayang dia masuk SMU 1."
"Iyaya bund, makanya jangan mudah menyimpulkan seseorang dari jauh, itukan yang mau ibu bilang ke Dian."
"Betul sekali." Kata Yam sambil merangkul pundak Dian agar Dian semakin asik dan tak mempedulikan orang-orang yang lalu lalang di samping kanannya.
"Nah kalau anak kesayangan ibu termasuk anak yang pendiem tapi pinter atau brisik tapi pinter atau ..." Yam menghentikan kata-katanya, diliriknya ke sebelah kanan diantara orang banyak ia mencari seseorang sementara tangannya tetap mengelus-elus pundak putri kesayangannya agar Dian tetap nyaman berada didekatnya dan tidak ingin berpaling ke arah yang lain. Yam merasa cukup lega melihat seseorang dengan kemeja kotak-kotak sudah menjauh dari tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KESETIAAN YANG TERLUKA
General FictionCerita perempuan tentang perasaannya yang sering harus terluka, mengalah, tertahan, demi menjaga spikologis anak-anaknya agar tak goncang menerima kenyataan bahwa ibunya harus rela tersakiti oleh ayahnya.