7

1.7K 181 15
                                    

Hal yang paling penting dari sebuah pilihan, atau keputusan yang seseorang ambil untuk dilakukan atau dijalani adalah sebuah dukungan. Atau izin. Atau restu.

Kedua orang ini telah mendapatkannya.
Mendapatkan dukungan dari hal yang telah mereka pilih untuk dijalani.
Dukungan itu datang dari fans mereka.
Fans yang perlahan semakin membludak seiring berjalannya waktu.
Bahkan tak tanggung-tanggung, fans tidak hanya mendukung keduanya untuk tetap bersama. Saling menjaga. Saling memperhatikan dan menyayangi.
Fans juga telah memberi dukungan mereka jika mungkin keduanya memiliki takdir untuk menjadi langgeng selama-lamanya.

Betapa bahagianya.
Benar 'kan?
Yeah, itu tidak salah.
Tapi nyatanya itu belum sempurna.
Restu yang paling penting dari semua jenis restu yang kedua orang ini butuhkan belum mereka dapatkan.
Itu adalah restu dari orangtua masing-masing.

Anak-anak ini bukannya sudah pernah meminta secara nyata kepada orangtua mereka.
Belum.
Keduanya belum melakukan itu.
Mereka masih memikirkannya.
Melihat bagaimana reaksi orangtua mereka terhadap karya yang telah mereka hasilkan dan pertunjukkan.
Nyatanya meskipun hal itu terbilang sukses, tetap saja karya yang mereka hasilkan adalah hal yang cukup ekstrim bagi orangtua mereka.
Itu bukan hal yang biasa.
Katakan saja itu abnormal.

Benar.
Tidak hanya kedua orangtua anak-anak ini, bahkan tak kalah banyak orang-orang diluar sana yang masih menganggap tabu pilihan yang telah mereka ambil.

"Aku kadang-kadang masih sangat terpengaruh pada sikap papa..."

Singto menoleh ke asal suara.
Diatas tempat tidurnya, Krist tampak duduk nyaman bersandar pada headboard dengan tumpukan bantal dibelakang punggungnya dan ponsel merah ditangannya.
Berselancar di dunia maya.
Lagi.
Selalu.
Seperti biasa.

Singto yang tengah berkutat dengan urusan kuliahnya tidak terlalu ambil peduli pada hal itu.
Tapi Krist baru saja menyinggung soal ayahnya, jadi Singto sedikit banyak agak ingin menyimak.

Krist mengangkat wajahnya dan melakukan tatapan pada Singto yang memang masih melihat kepadanya

"Kadang-kadang aku merasa papa tidak bersikap adil padamu.."

Singto menangkapnya.
Maksud dari kata-kata yang Krist ucapkan

"Is not that normal?"

Krist menggelengkan kepalanya sekali.

Tapi kemudian terdiam.

Beberapa saat hanya terdengar suara jarum jam yang berdetak.

Singto memilih kembali ke aktifitasnya tanpa memberi tanggapan lebih banyak atas keluhan yang Krist ungkapkan.
Singto bukan tidak pernah merasakan hal itu..
Singto tahu.
Tapi... Singto berpikir, mungkin itulah konsekuensi yang harus ia terima.

Jika dipikir-pikir orangtua mana yang bisa begitu mudah membiarkan anak laki-laki mereka menjalin hubungan dengan seseorang yang juga laki-laki?
Apalagi untuk menerima.
Singto sadar diri. Ia tahu hal itu tidak mudah. Bahkan sulit bagi mereka meskipun hal itu sudah tak lagi tabu di negara tempat mereka tinggal.

"Setidaknya phó masih bersikap terbuka padaku.."

Krist melanjutkan mengungkapkan isi kepalanya.

"Cobalah berpikir dari sisi papamu.. pikirkan baik-baik. Aku mengerti posisinya, jadi aku tau tidak pantas meminta lebih. Justru seharusnya aku malu.."

Krist terpancing.
Mengalihkan atensinya pada Singto yang sudah menghentikan aktifitasnya

"Kau adalah anak kesayangan yang papamu miliki. Jika aku ada diposisinya, aku mungkin juga akan merasa berat.. jadi..."

Singto menghempaskan punggungnya ke punggung sofa yang ia duduki

"Pilihan yang kita ambil saat ini tidak lain hanya untuk kita sendiri. Kesenangan diri sendiri. Tidakkah rasanya kita serakah jika kita juga menuntut penerimaan mereka?"

Singto memutar kepalanya hingga menemukan wajah Krist yang menatapnya..

Terpancar kemurungan di wajah Krist..
Singto bangun dari tempatnya dan membawa langkahnya kepada Krist

"Kita tidak boleh serakah, iyakan?"

Krist mengangguk diam. Kedua matanya sudah digenangi oleh air dan siap turun kapan saja si empunya memerintah.

Langkah Singto telah berhenti disisi tempat tidur dimana Krist berada.
Menekuk kakinya dan mempertemukan satu lututnya dengan lantai yang ia pijak.
Mengambil ponsel yang ada ditangan Krist untuk diletakkan diatas nakas,

Menggenggam tangan itu dengan kedua tangannya.

"Untuk saat ini, ayo jangan mengeluh dan menuntut apapun dari mereka. Kita nikmati saja apa yang sudah kita dapatkan. Untuk masa yang akan datang, apapun yang terjadi biarkan itu terjadi. Eum?"

Krist mengangguk lagi.
Bersamaan dengan itu air yang menggenangi kedua matanya jatuh. Mengalir di pipi..

Krist menarik nafasnya.
Menyerut cairan bening dihidungnya.
Menenangkan dadanya yang sedikit sesak.
Tapi itu tak terjadi sesuai maunya.
Air yang mengalir dipipinya semakin bertambah banyak.
Singto yang melihatnya malah tersenyum

"Cengeng"

Krist pecah dalam tangis sambil memaki.
Singto tersenyum semakin lebar.

"Tidak ada kesempurnaan untuk hal apapun di dunia ini, yakan? Tidak kebahagiaan, tidak juga hubungan. Kita juga tidak tau bagaimana dengan masadepan kita nanti..."

Singto bangkit dari posisinya setelah membantu Krist menghapus pipinya dari aliran airmatanya..

Membawa kedua tangan Krist untuk melingkari pinggangnya kemudian ia sendiri mendekap kepala yang ia sayang.
Secara alami Krist mulai mengeratkan lengannya melilit pinggang phí-nya.
Menempelkan kepalanya ke perut Singto sembari mengambil kesempatan menyumbat ingusnya juga mengeringkan pipinya menggunakan baju kaos yang Singto pakai.

"Kadang-kadang kau jorok juga ya.."

Krist mengerti maksud Singto.
Ingin tersenyum tapi sedang menangis.

"Aku tidak bisa terus seperti ini.. berapa banyak lagi ingus yang akan kau pindahkan kesana"

Nada suaranya mulai lain.
Mulai merenggangkan pelukannya tapi Krist belum ingin lepas

"Aku masih sedih..."

"Sedih sih sedih tapi bagaimana nasib bajuku.."

Singto menggerutu berlebihan.
Krist tidak tahan lagi untuk tersenyum.

"Jangan begitu phí.. kau lebih sayang bajumu?"

"Masalahnya bukan itu, Kit... yang kau pindahkan ke bajuku itu lendir dari hidungmu. Dan itu jorok"

Tiba-tiba Krist melepaskan pelukannya ditubuh Singto dengan kesal

"Jahat"

Ketus sambil mengusap asal kedua matanya yang masih berair. Menyerut lagi hidungnya untuk yang terakhir.

Sementara Singto sibuk melihat hasil karya Krist di baju kaosnya.

CUT

Matahari & VenusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang