Part 13

44 5 0
                                    

"Baiklah, akan ku coba..."
Dengan langkah yang tidak pasti, Ardian melangkah mendekati ranjang yang di atasnya terdapat mataharinya yang tak memiliki cahaya, namun tak bisa dipungkiri, hati Ardian serasa mau meledak ketika melihat mataharinya tak bersinar.

"Assalammualaikum Ara.... Masih ingat kah kamu dengan sahabat lamamu ini? Aku lah Ardian, sahabatmu yang sudah menantimu untuk kembali seperti dulu. Kamu pasti bisa terlepas dari semua beban ini. Jangan kamu melangkah kembali ke masa lalumu. Aku siap jika harus menuntunmu menuju masa depan, kamu pasti bisa melawan segala cobaan dan rintangan dari Allah SWT. Ara... Kamu adalah sosok wanita yang sangat kuat, terlihat dari kesabaranmu selama ini, jangan lah kamu berfikir untuk membalas segala perbuatan mereka. Tapi, bantulah mereka untuk kembali menuju ke jalan Allah. Ingat lah Ara, kamu tidak sendiri. Masih ada Ayah, Ibu, Riska, maupun aku yang siap menunggumu dan membantumu untuk kembali sehat..."

Ardian menangis sejadi-jadinya saat ia harus mengatakan suatu hal yang sangat sulit untuk ia bicarakan. Ia hanya bisa membantu Ara dengan segala kemampuannya. Apapun itu, ia akan melakukannya untuk kesembuhan Ara.

Hebatnya, tak lama setelah itu, Ara membuka matanya, mengerjapkan kedua bola matanya, menyocokkan dengan cahaya ruangan tersebut. Ia melihat di sampingnya ada Ardian dan seorang Dokter, tak jauh dari situ terdapat Ayah, Ibu, dan Riska. Ia mulai mengingat Ardian, namun ingatannya akan dirinya yang selalu saja dibully masih betah berada di dalam hati dan fikirannya.

"Ibu... Ibu... Apa yang terjadi,,, Kenapa semua ada di sini? Kenapa dia selalu saja berada di sini Ibu..." Ara dengan susah payah mengeluarkan segala sesuatu yang ia rasakan. Sambil menunjukkan kepalanya yang di landa pusing yang sangat hebat, Ara mencoba untuk membuka matanya dengan jelas.

"Nak... Alhamdulillah kamu sudah sadar nak. Jangan memikirkan mereka nak, biarkan mereka pergi dengan perlahan.." Ibu tidak sanggup menahan rasa bahagianya. Kini Ibu sudah berada dipelukan suaminya sambil meneteskan air matanya.

"Ara, bayangkan kamu berada di sekitar orang yang kamu sayangi dan menyayangimu, jauhi orang-orang yang membencimu. Biarkan mereka pergi jauh darimu..." Jelas Dokter Alya.

Ara mencoba mengikuti perkataan yang terlihat seperti seorang Dokter dan ia menyimpulkan bahwa saat ini dihadapannya ada seorang Dokter. Perlahan demi perlahan, pusingnya mulai mereda. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya.

"Dokter, mereka pergi.. Mereka pergi..." Ara merasa sedikit senang karena rasa pusing di kepalanya sedikit menghilang.

"Alhamdulillah..." semua serentak mengucapkan rasa syukur atas kondisi Ara yang semakin membaik.

"Ara... Apakah kamu ingat denganku?" Ardian bertanya dengan rasa takut akan jawaban yang ia tunggu.

"Hmm(sambil megang kepala)... Ardian, betulkah kamu Ardian?" tanya Ara dengan selidik, namun seketika senyuman terukir di bibirnya atas jawaban yang diberi Ardian.

"Alhamdulillah, iya aku Ardian, sahabat lamamu.." . Ardian tak bisa membendung rasa bahagianya. Dengan reflek Ardian memeluk Ara dengan sangat erat.

"Hmm,, Ardian maaf, kita bukan muhrim.." jujur Ara pun tak bisa membendung rasa bahagianya saat ini. Ia bertemu dengan sahabatnya yang sangat ia rindukan. Tiba-tiba rasa gugup mendera dirinya karena pelukan Ardian.

"Oh, eh i..iya maaf." Ardian tersadar dari dunianya, ia sangat malu saat ini. Sudah dipastikan wajah Ardian pasti sudah berubah warna merah seperti kepiting rebus.

"Ara, Ardian... Kalian bukan muhrim. Besok jika kalian sudah menikah baru boleh pelukan.." ucap Kak Nadzwa mencairkan keadaan yang begitu kaku. Namun seketika mendapat tatapan sinis dari adiknya, Ara.

"Kakak..!"

"Sudah-sudah, sekarang keadaan pasien sudah membaik, tapi untuk sekarang adalah waktu yang tepat untuk pasien beristirahat" ucap Dokter Alya.

-----------------------------------------------------------

Assalammualaikum HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang