BAB 2

2.6K 432 82
                                    

  🇩🇪  

Kaki Arsel melangkah dengan cepat dan lebih panjang dari biasanya. Sebenarnya bisa dibilang bahwa sekarang ia bukan sedang berjalan, tapi sedang setengah berlari. Padahal ia sudah menata rambutnya dengan rapi sejak matahari belum terbit —ia sudah benar-benar mempersiapkan diri untuk bertemu mahasiswa baru— dan tataan rambutnya itu harus rusak karena tersibak angin kencang di Berlin pagi ini.

Sebenarnya keterlambatan ia di hari ini benar-benar atas kesalahannya sendiri yang dengan percaya dirinya mencoba membuat bockwurst —sosis jerman— dengan topping apapun yang ia punya di rumah sebagai menu sarapan. Entah kenapa pagi tadi ia sangat ingin memakan sosis, padahal ia sendiri tahu bahwa perutnya tidak kuat memakan sesuatu seperti itu dipagi hari. Sampai akhirnya ia harus keluar-masuk kamar mandi karena perutnya yang perih. Atau mungkin itu terjadi karena ia menambahkan lada terlalu banyak pada bockwurstnya?

Hari ini adalah semester baru, dan ia terlambat datang, apa kata dosen nanti? Ia sangat yakin tidak akan diizinkan masuk oleh dosen disana. Sepanjang perjalanan tadi, Arsel sempat berpikir apakah ia lebih baik berpura-pura sakit dan kembali ke rumah, atau tetap memaksakan masuk ke kelas hari ini? Kedua pilihannya benar-benar pilihan yang buruk. Kalau ia kembali ke rumah tanpa mendapatkan ilmu apapun dari kampus, ia selalu merasa rugi. Dan kalau ia memaksakan masuk kekelas hari ini... Ah... Ditelinganya sudah mulai terdengar samar-samar suara dosen yang akan memarahinya.

Arsel melangkah dengan cepat menuju kelasnya, dan saat ia sampai didepan kelas, ia tidak berani menatap apapun disana. Yang ia lakukan adalah berdiri didepan pintu kelas yang terbuka sambil menunduk. Kedua tangannya disimpan didepan perut, masih sambil memegang tas satchelnya yang berwarna cokelat tua.

"Maaf, Pak. Saya terlambat. Apa saya diizinkan masuk?"

Hening.

"Pak...?"

Arsel mendongakan wajahnya. Betapa kagetnya ia ketika melihat kelasnya... Kosong? Ada dimana teman-temannya? Ada dimana dosennya sekarang? Apakah hari ini masih libur? Atau apakah ia salah masuk kelas?

"Apakah aku mimpi?" tanya seseorang dibelakang Arsel sambil memegang pundak Arsel. Arsel terlonjak kaget dan segera menoleh kebelakang.

Theo Willaims.

Sahabatnya itu berdiri dibelakangnya dengan setelan baju tebal berlengan panjang sambil membawa tas satchelnya.

"Kau datang pagi-pagi sekali Arsel..." ujar Theo sambil kemudian melewati Arsel yang masih tercengang dan mematung ditempat.

Theo berjalan masuk dan menyimpan tasnya diatas meja. Ia menarik kursi dan duduk disana sambil menghela nafas, kelelahan. Entah apa yang telah ia lakukan pagi tadi sampai bisa terlihat lelah seperti itu.

"Tunggu... Tunggu. Maksudmu? Aku datang terlalu pagi?" Arsel menyusul Theo ke tempat duduknya dengan kebingungan. Theo mengangguk dan memperlihatkan jam tangan hitamnya. Arsel ingat sekali, jam tangan itu adalah pemberian Ayah Theo saat Theo berulang tahun ke 22 tahun.

"Kelas hari ini jam 8 pagi, dan sekarang masih jam setengah 8." Ujar Theo menjelaskan. Arsel langsung menepuk dahinya kencang. Betapa bodohnya ia.

Ia baru ingat bahwa malam tadi, jam dindingnya rusak, tepat diangka setengah 8 malam. Pagi tadi saat Arsel terbangun dan kemudian menyiapkan sarapan, ia melirik ke arah jam dinding itu dan langsung merasa bahwa hidupnya akan benar-benar tamat hari ini.

"Oh? GUTEN MORGEN, ARSEL! (selamat pagi)" Lelaki bernama Jei merentangkan kedua tangannya lebar-lebar sambil memasuki kelas. Suaranya yang melengking benar-benar menusuk gendang telinga Arsel. Arsel yakin, ucapan selamat pagi itu adalah sebuah ejekan karena Jei juga masih tidak percaya bahwa Arsel bisa serajin ini berangkat ke kampus di hari pertama kuliah.

Berlin, 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang