BAB 5

1.1K 252 64
                                    

🇩🇪

Seperti biasa, taman kampus tidak pernah sepi pengunjung. Banyak mahasiswa berkumpul diatas rerumputan yang hijau itu. Ada yang sedang mengerjakan tugas bersama, ada yang sedang bermain, ada yang sedang membaringkan tubuhnya dan menikmati angin Berlin di sore hari ini, dan ada pula yang sedang mencoba menenangkan diri dengan duduk sendiri didekat pepohonan yang rindang.

Arsel baru melangkahkan kaki di taman yang luas tersebut. Ia menoleh kekanan dan kekiri. Sosok perempuan yang dicarinya belum terlihat. Matanya mencoba men-scan seluruh pengunjung yang sedang berada ditaman tersebut, tapi Elsie Femellia tak kunjung terdeteksi. Mungkin ia belum datang, atau, Arsel melupakan wajahnya? Astaga, itu tidak mungkin! Jelas-jelas Arsel mengingat betul wajahnya yang bahkan terus-menerus membayangi dirinya.

"Arsel?"

Suara itu sebenarnya tidak terlalu familier untuk Arsel, sampai akhirnya ia mencoba mengingat-ngingat suara yang semalam ia dengar lewat telepon.

"Elsie?!" Arsel membalikan tubuhnya sambil menyebut nama perempuan itu dengan fasih. Perempuan yang kali ini berada di hadapannya tersenyum manis sambil menatap Arsel lekat-lekat.

"Ja. Das ist mein name. (Ya, itu namaku.)" Ia tertawa pelan. Entah kenapa, suara Arsel yang memanggil namanya membuat ia kecanduan dan ingin terus-menerus mendengarnya lagi. Ia mungkin tidak akan pernah mengeluh bosan jika diharuskan mendengar lelaki itu memanggil namanya dengan nada suara yang berbeda-beda.

Arsel yang sekarang sedang berhadapan dengan Elsie tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Sebenarnya ia kebingungan dengan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Tapi karena ia ingin sekali membuat Elsie merasa nyaman berada didekatnya, akhirnya ia memutuskan mengajak Elsie untuk duduk diatas rerumputan tersebut bersamanya.

"Sebaiknya kita duduk." Serunya dan mendahului Elsie untuk duduk diatas rerumputan itu. Elsie mengangguk dan mengikuti ajakannya. Dengan gerakan yang lembut –layaknya tuan putri yang sudah dididik bagaimana cara duduk yang baik didepan calon pangerannya– akhirnya ia duduk disebelah Arsel sambil sedikit menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga yang berhasil tersibak oleh angin Berlin.

"Ah... Ya... Kartu namamu..." Elsie menyimpan tasnya dipangkuannya dan kemudian mencari-cari dompetnya. Disebelahnya, Arsel benar-benar menikmati pemandangan itu. Mulai dari Elsie yang membuka tasnya, Elsie yang menunduk dan membuat pandangannya tertutup helaian rambutnya, Elsie yang mencari-cari dompetnya, dan Elsie yang selalu terlihat cantik dengan semua hal yang ia lakukan. Arsel rasa ia benar-benar sudah gila.

"Ini..." Elsie mengulurkan tangannya dan memberikannya pada Arsel.

"Sekarang giliran aku yang mengembalikan kartu namamu." Terselip sedikit senyuman pada bibir Elsie yang membuat Arsel semakin gila dibuatnya. Arsel membalas senyumannya dan menggelengkan kepalanya.

"Aku meminta kau kemari bukan karena kartu nama itu." Ujarnya berterus terang. Elsie menaikan kedua alisnya karena terkejut dengan pengakuan Arsel tersebut.

"Aku masih punya banyak kartu nama." Arsel mengeluarkan dompet disakunya dan memperlihatkan banyak kartu namanya yang terselip disela-sela dompet tersebut. "Yang ini, untuk kau saja." Lanjutnya sambil menunjuk kartu namanya.

"Jadi, kenapa kau memintaku kemari?" tanya Elsie masih penasaran. Arsel mengangkat bahu kebingungan. "Ich weiß es nicht. (Entahlah.) Aku hanya ingin saja bertemu denganmu." Ujarnya sambil tersenyum dan memperlihatkan barisan giginya. Elsie ikut tertawa melihatnya.

"Kita belum benar-benar berkenalan, bukan? Aku Arsel." Arsel mengulurkan tangannya. Tentunya, Elsie dengan senang membalas uluran tangan itu dan menjabat tangan Arsel.

Berlin, 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang