BAB 8

891 179 17
                                    

  🇩🇪 


"Emmhh..." Helena mendongakan kepalanya dan kemudian menurunkannya lagi sampai membentur meja. Theo segera mengelus-elus kepalanya perlahan dengan wajah khawatir.

"Astaga, Helena. Kepalamu nanti sakit." Tukasnya. Yang diajak bicara hanya tersenyum sedikit masih dengan gelas kecil ditangannya. Entah sudah berapa botol bir yang ia habiskan malam ini.

"Biarkan saja. Sepertinya dia bahkan tidak sadar kalau dia kesakitan." Seru Jei menenggak gelasnya lagi sambil mengobrol dengan 'perempuan baru'nya disampingnya. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Theo hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Diantara Helena dan Jei, dia satu-satunya yang tidak nafsu untuk minum-minum malam ini. Dia hanya khawatir pada Helena yang sudah minum lebih dari kapasitasnya. Helena biasanya hanya kuat meminum satu botol bir, tapi malam ini ia sudah meminum lebih dari tiga botol.

"Helena, kau ini sebenarnya kenapa?" tanya Theo dengan nada suara yang begitu kecil, nyaris seperti bisikan. Tanpa diduga, Helena mendengarnya dengan sangat jelas. Awalnya kepalanya masih berada di atas meja, tapi sepersekian detik kemudian ia berdiri dengan tegak dan menatap Theo. Theo melihat kearah mata Helena yang tertutup dan terbuka berulang kali.

"Dia benar-benar sudah mabuk rupanya." Theo menghela nafas panjang. Dipikirannya saat ini adalah bagaimana caranya ia dan Jei harus berbohong pada orang tua Helena dan berkata pada mereka bahwa Helena tertidur saat mengerjakan tugas kuliah bersama dirumahnya. Tidak mungkin ia membawa Helena pulang dengan keadaan mabuk parah seperti ini. Ibunya pasti akan jatuh pingsan.

"Elsie... Elsie Femellia..." Nama itu tiba-tiba keluar begitu saja dari bibir Helena. Theo menatapnya kebingungan. Kenapa dengan Elsie?

"Kau menyukainya juga?" tanya Helena dengan nada yang tidak karuan. Salah satu alis Theo terangkat. Ia hanya bisa membalas pertanyaan Helena dengan "Ha?" singkat. Ia berdecak dan lagi-lagi menghela nafas panjang. "Worüber redest du. (Kau bicara apa)"

"Jawab aku, kau menyukainya juga?" tanya Helena sambil menarik dagu Theo agar lelaki itu tidak menghindari tatapannya. Theo segera melepaskan sentuhan Helena itu dan menatap perempuan yang ada dihadapannya itu lama.

"Aku suka. Siapa yang tidak suka dengan perempuan cantik. Tapi bukan suka yang seperti itu. Bukan suka seperti yang Arsel rasakan." Tukasnya menjelaskan panjang lebar. Ia bisa melihat Helena memberikan senyumnya. Dengan cepat Helena memeluk Theo. Theo hanya bisa diam ketika merasakan tubuh mereka bersatu. Helena memang seperti itu. Ia kadang manja, dan kadang bersikeras bahwa ia bisa melakukan apapun sendiri seolah-olah berkata, "Aku bukan perempuan manja! Aku bukan anak kecil lagi!" padahal apa yang dikatakannya 180 derajat berbeda dengan tingkahnya.

"Kau sebenarnya kenapa sih?" tanya Theo masih kebingungan.

"Ich bin froh das zu hören. (Aku senang mendengarnya). Iya. Kau tidak boleh menyukainya seperti Arsel. Aku tidak mau kau diambil juga. Aku juga tidak mau Elsie mengambil Jei." Theo hanya bisa menepuk-nepuk pelan punggung Helena. Sekarang ia mengerti dengan segala sikap Helena saat didekat Arsel yang terus-menerus membahas Elsie. Entah kenapa ia juga merasa bersalah karena ia dan Jei juga ikut-ikutan antusias karena melihat Arsel yang akhirnya bisa berkencan setelah seumur hidupnya melajang.

Helena masih manja seperti dulu. Dia cemburuan. Dia gampang iri. Dan dia tidak ingin apa yang telah menjadi miliknya direbut orang lain. Dia masih belum siap menghadapi hal-hal semacam itu. Dia masih belum sedewasa itu.

"Kau masih saja bertingkah seperti anak kecil." Cetus Theo. Ia segera melepaskan pelukan Helena dan memegang kedua bahunya. Perempuan dihadapannya itu masih memejamkan matanya, ia masih belum sepenuhnya sadar dan tidak mungkin sadar dalam waktu dekat ini.

Berlin, 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang