BAB 12

690 147 20
                                    

🇩🇪

Pagi ini sinar matahari yang menyinari Berlin Timur berhasil menyelinap masuk melewati sela-sela gorden berwarna keemasan didekat ranjang kasur yang tengah Elsie tiduri. Mau tidak mau, perempuan itu segera membuka matanya karena entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang bersinar begitu terang mengganggu pelupuk matanya tersebut. Perempuan itu membuka matanya dengan ekspresi yang terheran-heran ketika melihat barang-barang disekitarnya adalah barang-barang asing yang rasanya belum pernah ia lihat. Entah ada dimana ia sekarang, yang jelas, Elsie bisa tahu pasti bahwa ia benar-benar tidak mengenal si empunya rumah ini. Ini bisa dibilang pertama kalinya ia tertidur di rumah orang asing yang bahkan tidak ia kena-

"Elsie? Bist du wach? (Kau sudah bangun?)" tanya lelaki yang sebelumnya menyempatkan diri menoleh ke arah Elsie sebentar dan kemudian melanjutkan aktivitasnya –mengaduk-aduk teh yang tengah ia buat.

Sial. Ternyata aku mengenali si empunya rumah ini. Batin Elsie dengan perasaan kesal bercampur dengan perasaan kebingungan yang menyelimuti dirinya. Maksudnya, kenapa bisa lelaki ini bisa ada disini? Bagaimana bisa ia tinggal bahkan memiliki rumah di Berlin Timur, padahal sebelum kepindahan Elsie beberapa waktu lalu, perempuan ini benar-benar senang bukan kepalang karena akhirnya bisa meninggalkan lelaki tersebut dan tidak akan sering-sering menemuinya.

Deano Rubert, seorang lelaki yang pernah berkali-kali melamar Elsie, tapi sayangnya perempuan itu pun berulang kali menolaknya.

Ia sekarang sudah menjadi reporter dengan status yang sama seperti ayah Elsie. Bukan karena ia benar-benar handal, astaga, yang benar saja. Jelas-jelas pencapaian Deano dan Paulin –ayah Elsie- berbeda seratus delapan puluh derajat. Paulin benar-benar bekerja dari titik terbawah sampai akhirnya sekarang ia bisa menjadi reporter berkelas, bahkan sampai diberi tugas ke Berlin Timur. Berbeda dengan Deano yang tiba-tiba saja menjadi reporter setelah ia menyelesaikan sekolahnya, yang jelas itu bukan karena ia sangat pintar sampai akhirnya langsung dijadikan reporter begitu saja, tapi ada campur tangan orangtuanya yang kebetulan jajaran tertinggi dalam bidang pekerjaan tersebut.

Deano ini lelaki yang benar-benar tampan, tubuhnya terlihat tegap dengan dada yang begitu bidang. Perempuan mana yang tidak ingin bersandar pada dadanya itu? Selain itu dia anak orang kaya yang bisa membeli apapun yang ia inginkan. Dan walaupun ia tidak terlalu pintar, tapi ia benar-benar pembicara yang baik. Ia pandai membujuk orang. Ah, apapun itu, yang jelas ia pandai dalam caranya berbicara.

Tapi ada beberapa hal yang Elsie tidak sukai dari Deano. Lelaki ini terlalu ambisius dan selalu merasa bahwa ia harus mendapatkan apa yang ia inginkan –bisa dilihat dari usahanya untuk mendapatkan Elsie- Selain itu, ia begitu sombong dan pintar memamer-mamerkan apapun yang ia punya.

"Aku membuatkan teh untukmu." Tukasnya sambil sedikit mendentingkan sendok pada bibir cangkir untuk setidaknya memastikan bahwa teh tersebut sudah tercampur gula dengan baik. Kemudian ia memegang cangkir tersebut dan membawakannya pada Elsie yang sedang duduk sambil bersandar dibadan kasur.

"Ich will nicht (Aku tidak mau)" Jawab Elsie singkat, masih sambil menatap Deano dengan tatapan benci. Deano hanya membalasnya dengan senyuman kemudian menyimpan teh tersebut dimeja terdekat.

"Jadi kau mau apa untuk sarapan hari ini? Aku punya apapun di rumahku, kau tinggal pilih saja." Kemudian ia menunjuk asal ke arah dapurnya,

"Ada sosis, roti, keju, susu, telur, ah atau kau ingin-"

"Kenapa kau bisa ada disini?" tanya perempuan itu dengan nada ketusnya. Lagi-lagi Deano hanya tersenyum dan kemudian melipat kedua tangan didepan dadanya itu,

"Oh lihat, apa ada yang salah denganmu?" tanyanya dengan sedikit tawa, "Kau barusan bertanya padaku tentang... aku? Sejak kapan kau menjadi perempuan yang begitu peduli terhadap orang lain seperti ini?" tanyanya lagi dan kemudian mendekati Elsie. Ia pun duduk dibibir ranjang tersebut sambil menatap Elsie lekat-lekat.

Berlin, 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang