BAB 4

1.3K 252 24
                                    

🇩🇪

"Halo? Elsie?!!"

Helena langsung saja membalikan bola matanya dengan kesal setelah melihat ekspresi kegirangan dari Arsel. Sungguh, bisa dibilang, cara bicara Arsel berubah total! Helena merasakan ada yang berbeda dari nada suaranya.

"Meine karte? (Kartu namaku?)" tanya Arsel pada Elsie dengan nada yang jelas-jelas sedang berpura-pura terkejut dan dengan nada yang... lebih lembut dari biasanya. Helena yang mendengarnya hanya bisa menggerutu kesal didalam hatinya. Dia belum pernah melihat pemandangan ini sebelumnya. Dan sebenarnya bukan hanya dia, tapi ketiga teman lelaki Arsel pun untuk pertama kali melihat Arsel yang seperti ini. Seorang Arsel yang mengobrol dengan perempuan lain dengan nada yang riang dan sangat lembut. Bukan berarti Arsel tidak pernah mengobrol dengan perempuan, tapi bisa dibilang, perempuan yang satu ini berbeda. Arsel hanya bicara dengan nada dingin dan seperlunya pada perempuan-perempuan di kampus –itu pun kalau mereka bertanya soal tugas– tapi tidak dengan perempuan ini. Teman-teman Arsel yang saat itu sedang berkumpul jadi penasaran seperti apa Elsie Femellia yang sedang meneleponnya tersebut.

"Perempuan itu teman sekampus kalian?" tanya Fred sambil menuangkan air minum pada gelasnya. Jei dan Theo dengan kompak mengangkat bahu mereka. Sedangkan Helena? Jangan ditanya lagi. Ia seperti tidak tertarik dengan obrolan mereka.

"Aku baru dengar nama itu." Ujar Theo.

"Mungkin setelah Arsel selesai mengobrol dengannya, kita harus menanyakannya tentang perempuan itu! Aku curiga, jangan-jangan..." Ada jeda sebentar di perkataan Jei, dan kemudian tiga lelaki itu melirik Arsel dan tertawa kecil.

"Hahahaha ya, aku harap. Semoga Arsel menemukan perempuan yang cocok untuknya." Tukas Theo sambil tersenyum tipis. Fred mengangguk setuju.

"Sudah terlalu lama dia memikirkan soal tembok Berlin, kali ini ia harus tahu bahwa perempuan lebih sulit dimengerti dari pada Perjanjian Postdam!" Fred mengatakannya dengan berapi-api dan membuat Jei terkikik mendengarnya. Tentunya, Jei tidak bisa tidak setuju dengan perkataan Fred karena apa yang ia katakan memang benar.

Selama bertahun-tahun kenal dengan Arsel, mereka tidak pernah menemukan tanda-tanda bahwa Arsel tertarik pada perempuan. Bahkan mereka dengan jahatnya pernah mencurigai Arsel, takut saja kalau-kalau Arsel menyukai salah satu sahabatnya –yang jelas bukan Helena, tapi salah satu dari dua sahabat lelaki itu– karena ia terlihat lebih senang menghabiskan waktu bersama sahabatnya dibanding datang ke acara-acara perkumpulan perempuan-perempuan cantik yang biasa didatangi Jei –bahkan Theo akan ikut datang, dan itu semua karena paksaan Jei.

Setelah melihat adegan ini –Arsel dengan suara lemah lembutnya dan gerak-geriknya yang berubah jadi manis saat mengangkat telepon Elsie- entah kenapa sahabat-sahabatnya itu bisa menghela nafas dengan lega. Setidaknya, kecuirgaan mereka sekarang benar-benar hilang karena sudah menyaksikan adegan itu secara live! Ingin sekali mereka beranjak dari duduknya dan memeluk Arsel sambil berkata, "Selamat datang kawan ke kehidupanmu yang sebenarnya!"

Bagi Arsel, hatinya adalah tembok Berlin, dan Elsie adalah bom peledaknya.

🇩🇪

"Ah, jadi kalian baru bertemu sepulang kuliah tadi?" tanya Jei dengan mata yang membulat. Ia benar-benar penasaran dengan cerita Arsel. Dihadapannya, Arsel mengangguk dengan cepat dan tersenyum lebar. Bisa ditebak bahwa Arsel juga senang menceritakan perempuan bernama Elsie itu.

"Namanya benar-benar cantik. Aku penasaran dia secantik apa." Fred juga sama penasarannya dengan sahabat-sahabat Arsel. Kalau saja bisa, Fred ingin sekali kembali ke dunia perkuliahan dan bertemu dengan Elsie, perempuan yang entah memiliki sihir apa sehingga bisa membuat Arsel bertekuk lutut.

Berlin, 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang