🇩🇪
"Arsel!"
Helena berlari-lari pelan menuju Arsel yang sedang berdiri sendirian didepan kampus, tepatnya di bawah pohon rindang. Cuaca Jerman hari ini benar-benar tidak bersahabat. Pagi tadi, Jerman begitu cerah, di siang hari tiba-tiba muncul angin yang sangat kencang, dan kemudian sekarang –tepatnya sore hari- Jerman berhasil diguyur habis-habisan oleh langitnya.
Arsel sedang menunggu S-bahn yang biasa lewat didepan kampusnya untuk pergi ke toko roti, tempat ia bekerja paruh waktu. Awalnya ia berniat tidak akan kerja hari ini karena ketiga sahabatnya mengajaknya untuk datang ke suatu parade yang berada tidak jauh dari kampusnya. Sampai akhirnya secara kompak, mereka semua membatalkan rencana tersebut sepulang kuliah tadi.
Theo dan Jei yang satu kelompok diskusi –dan tentunya memiliki anggota lain- harus mengerjakan tugas mereka hari ini diperpustakaan, dan Helena tiba-tiba merasa tidak enak badan. Ia sempat berkata bahwa ia akan istirahat sebentar di kelas sampai badannya lebih enakan dan setelah itu berniat pulang dengan menunggu jemputan. Akhirnya Arsel memutuskan untuk pergi ke toko roti dan memang hampir setiap hari tujuan setelah pulang kampus adalah tempat tersebut.
Sudah hampir setengah jam S-bahn tidak lewat dan Arsel masih sabar menunggunya dibawah pohon rindang didepan kampus. Mungkin si empunya toko tidak akan marah, karena ia juga mengerti bahwa hari ini hujan, dan S-Bahn sulit ditemukan, batinnya.
Sampai akhirnya ada suara seorang perempuan yang sangat familier di telinganya. Perempuan itu terdengar memanggilnya. Arsel langsung menoleh kebelakang dan mendapati Helena yang sedang berlari mendekatinya.
"Hai, Arsel!" tukasnya menyapa Arsel dengan nada yang seolah-olah baik-baik saja. Padahal Arsel tahu jelas bahwa Helena mungkin saja sesak nafas karena sudah memaksakan diri untuk berlari saat kondisinya kurang fit. Arsel melihat Helena yang mencoba mengatur nafasnya dan menelan salivanya berkali-kali. Ia berusaha keras untuk terlihat tidak kelelahan didepan Arsel. Melihat itu, Arsel hanya tertawa pelan dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.
"Kau bilang kau akan dijemput." Tukas Arsel mencoba memastikan. Sepersekian detik kemudian Helena mengangguk.
"Iya. Aku akan menunggu Ayahku disini." Ujarnya. Kemudian ia melirik Arsel sambil tersenyum. "Dan syukurlah ada kau disini, Arsel. Meistens bin ich nicht allein. (Setidaknya aku tidak sendirian.)" Lanjutnya.
Tidak berapa lama setelah itu, dari kejauhan, Arsel melihat ada S-bahn yang mulai mendekat.
"Helena, aku..." ia menoleh ke arah Helena disebelahnya yang sedang berusaha meminimalisir rasa dingin yang menjalar ditubuhnya dengan cara mengusap-usap kedua telapak tangannya sambil kemudian meniupinya. Melihat itu, Arsel segera memegang kedua bahu Helena dan menuntunnya agar berhadapan dengannya. Helena yang melihat apa yang Arsel lakukan hanya bisa terdiam dan menatap Arsel kebingungan. Setelah itu, Arsel melepaskan coatnya dan memakaikan coat tersebut dengan cara menggantungkannya begitu saja dipunggung Helena.
"Jangan sakit." Ujar Arsel sambil menata coat tersebut agar terpakai dengan nyaman ditubuh Helena yang kecil. Coat tersebut sebenarnya terlalu besar untuk Helena. Tapi apa masalahnya? Helena benar-benar nyaman memakai coat itu.
Entahlah. Tiba-tiba ia merasa hangat, dan dia bingung alasannya karena apa. Apakah karena memang coatnya tebal dan panjang, atau karena perlakuan manis si pemiliknya?
"Kenapa kau tidak memperbolehkan aku sakit?" tanya Helena. Kalau boleh jujur, didalam hatinya, Helena langsung mengutuk diri dan berulang kali menyalahkan dirinya karena telah menanyakan hal seperti itu yang sebenarnya tidak perlu memiliki jawaban khusus.
Mungkin Helena bisa menebaknya. Arsel pasti akan menjawab seperti, "Karena kau sahabatku" atau "Kau tahu sendiri kalau sakit itu tidak enak" dan sebagainya. Walaupun, sebenarnya Helena mengharapkan jawaban lain. Apakah Arsel akan menjawabnya dengan kata-kata manis seperti, "Karena kalau kau sakit, tentu aku pun akan sakit" atau "Aku akan merindukanmu. Merindukan Helena yang sehat" atau, seperti apa?
"Kalau kau sakit, Jei tidak punya terman berdebat. Er wird definitiv deine Pity sein. (Dia pasti akan kasihan padamu.)" Jawab Arsel sambil sedikit terkikik.
Sial.
Helena hanya bisa membalikan bola matanya dan mengangguk asal. Dia memang bodoh telah mengharapkan sesuatu yang khusus dari Arsel. Padahal dia jelas-jelas tahu bahwa Arsel sama sekali tidak berpengalaman soal wanita. Dia tidak akan mengerti hal-hal yang membuat wanita senang, nyaman, terharu, dan sebagainya.
"Jadi, kapan aku harus mengembalikan coatmu?" tanya Helena sambil memakai coat tersebut dengan benar. Ia sibuk memasukan tangannya pada lubang yang terdapat pada coat Arsel.
"Kau harus mencucinya dulu, setelah itu kau bisa kembalikan padaku!" ujar Arsel dan kemudian tertawa pelan. Helena memukul asal lengan Arsel sambil memajukan bibirnya.
"Coat ini bau karena terlalu sering kau pakai! Kenapa harus aku yang mencucinya?!" tukas Helena dengan nada setengah berteriak. Ia bisa melihat dengan jelas tawa Arsel yang begitu puas, dan tentunya itu membuat Helena puas juga, karena ia berhasil membuat lelaki dingin itu menemukan tawanya.
Iya. Hanya menemukan tawanya, bukan menemukan musim panasnya.
Ah, kalau mengingat-ingat hal itu, Helena tidak akan berhenti tersenyum. Ada banyak hal manis yang terjadi saat itu sebenarnya. Aroma coat Arsel yang khas –dan sebenarnya coat itu sempat Helena bawa tidur setiap malam-, tawa Arsel yang menenangkan dengan suara beratnya, dan perlakuan manisnya yang tidak ingin Helena sakit.
Karena Helena adalah anak tunggal, ia benar-benar menganggap Arsel dan Theo –kecuali Jei, karena ia menganggap Jei adalah musuh bubuyutannya yang ia sayang- sebagai kakaknya. Entah sudah berapa tahun ia menghabiskan waktunya bersama orang-orang itu. Yang awalnya mereka hanya sering bermain di tempat bermain umum di Berlin, sampai akhirnya menjadi mereka yang senang menghabiskan malam di bar Metzer Eck.
Helena benar-benar bersyukur bahwa ia adalah satu-satunya perempuan yang berada diantara mereka, sehingga seluruh atensi mereka diberikan hanya untuk Helena.
Ketika Helena sakit, mereka pasti akan berlomba-lomba membawa banyak makanan ke rumah Helena. Ketika Helena patah hati, mereka akan menginap di rumah Helena dan menemani Helena menangis sambil bercerita sampai ia tertidur karena kelelahan sudah menangis berjam-jam. Ketika Helena telat datang ke tempat les piano dan tidak diperbolehkan belajar, mereka mendatangi gurunya dan berpura-pura sebagai orangtua Helena dengan berpakaian seperti orang tua –tentunya Jei memakai rambut palsu untuk berpura-pura menjadi Ibu Helena- kemudian mereka menuntut hak yang seharusnya Helena dapatkan. Lagi pula, hari itu Helena telat karena baru saja selesai kerja kelompok dengan beberapa temannya.
Sekarang, setelah melihat salah satu adegan di taman kampus –Arsel yang memakaikan coatnya pada Elsie- entah kenapa membuat Helena semakin cemburu. Arsel baru saja menemukan musim panasnya dan ia masih tidak bisa menerima kenyataan tersebut.
Dia dengan serakahnya merasa ingin berada di posisi Elsie, padahal ia sudah mendapatkan semua perhatian itu beberapa tahun ini. Ia hanya belum bisa terima bahwa Arsel mulai lebih memperhatikan Elsie dibanding dirinya. Helena mati-matian mendekati Arsel ketika dulu karena ia menyukai Arsel, sampai akhirnya ia bisa mengenal Arsel lebih dekat dan bersahabat dengannya.
Sedangkan Elsie? Apa yang ia lakukan? Ia bertingkah seperti tuan putri yang lemah lembut dan penuh cinta. Harus Helena akui, Elsie memang sesempurna itu. Siapapun akan menyukainya.
Siapapun.
Tapi kenapa harus Arsel juga?
🇩🇪
Halo! Maap banget telat update. Aku lagi sibuk ini-itu dikampus, sampe akhirnya waktu aku juga ikut kebagi ini-itu hehe. Anyway, aku bakal berusaha update serajin mungkin! Tetep tungguin kisahnya Arsel yaaaa :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Berlin, 1980
Fanfiction[COMPLETED ㅡ END✔] "Siapakah kamu di kehidupan sebelumnya? 🇩🇪" Ong seongwoo bertemu seorang murid baru di sekolahnya yang bernama Kim Jisoo. Entah kenapa ia merasa begitu dekat dengan perempuan itu, padahal sebenarnya hari itu adalah pertemuan per...