BAB 13

622 120 15
                                    

🇩🇪

Setelah kemarin memutuskan tidak masuk kuliah karena ada suatu insiden –orangtua Elsie yang marah besar ketika tahu bahwa anaknya itu pergi ke bar dan mabuk-mabukan-, akhirnya untuk tidak menambah banyaknya absen pada daftar kehadiran, Elsie memutuskan untuk berangkat kuliah hari ini dan melupakan segala kejadian yang terjadi kemarin. Rasanya berdiam diri di rumah pun membuatnya sedikit stress. Ia butuh sesuatu yang bisa menenangkan perasaannya. Misalnya pergi ke kampus dan bertemu dengan teman-temannya. Atau kalau beruntung, mungkin ia bisa bertemu dengan Arsel diantara ribuan masyarakat kampus.

"Elsie Femellia, wohin gehst du? (kau mau kemana?)" tanya Ayah pagi itu sambil menatap Elsie yang baru saja keluar dari kamarnya. Perempuan itu sudah berpakaian dengan begitu rapi. Ia memakai sebuah dress selutut dengan hiasan tali yang melingkari pinggangnya. Kemudian rambutnya ia biarkan terurai dengan bando putih yang menghiasi rambutnya tersebut.

"Aku mau berangkat kuliah." Jawab Elsie dengan nada kebingungan. Elsie rasa, Ayahnya tidak perlu menanyakan hal yang mungkin sudah diketahui jawabannya. Lagi pula, bukankah ini jadwal kuliahnya? Bukankah biasanya Ayahnya tidak pernah bertanya hal seperti itu dan membiarkan Elsie sarapan bersamanya?

"Mulai sekarang, jangan kuliah. Kau belajar saja di rumah."

"Iya???"

"Ayah akan menyewa pengajar apapun yang kau mau. Kau ingin jadi apa? Pemain musik bukan? Pianis? Kalau begitu ayah akan memanggil pengajar kemar-"

"Vater! (Ayah!)"

Mungkin bisa dibilang, untuk pertama kalinya sepanjang hidup Paulin Matias, ia mendengar anaknya itu memanggilnya dengan nada tinggi. Anaknya itu membentaknya dengan ekspresi yang benar-benar kesal.

Sekarang perubahan Elsie yang mana lagi yang bisa membuatnya terkejut?

"Aku bukan lagi anak kecil, Ayah. Aku ingin memilih sesuatu untuk diriku sendiri. Termasuk soal ini. Ich möchte auf dem Campus bleiben (Aku ingin tetap ke kampus)" Tukasnya dengan nada sedikit bergetar. Ia menurunkan bahunya yang awalnya naik karena emosi. "Disana bukan soal belajar saja yang bisa didapat. Aku pun bisa belajar bersosialisasi dan-"

"Dan menjalin hubungan dengan pria miskin yang asal usulnya tidak jelas itu?"

"Jangan sebut Arsel seperti itu!!!"

PLAAAAAAKKK!!!

Dan sekarang, bisa dibilang, ini pertama kalinya sepanjang hidup Elsie Femellia, ia ditampar oleh tangan Ayahnya sendiri.

Elsie refleks memegangi pipi kanannya yang kesakitan. Kalau ada kaca disekitar sini, dan Elsie bisa melihat pantulan wajahnya pada kaca tersebut, Elsie yakin pipinya sudah benar-benar memerah sekarang, bahkan bisa saja sedikit membengkak. Apalagi yang barusan menamparnya adalah tangan laki-laki dewasa yang besar dan keras. Elsie bukan benar-benar ingin menangis, tapi entah kenapa air matanya turun begitu saja. Mungkin itu adalah reaksi dari pipinya yang kesakitan karena tamparan ayahnya itu.

Paulin menurunkan tangannya yang awalnya masih terangkat itu, dan kemudian menatap anak semata wayangnya lekat-lekat. Paulin rasa, selama ini ia sudah cukup sabar melihat anaknya yang hampir setiap hari menghabiskan waktunya bersama Arsel. Paulin tau semua itu tentu bukan dari mata kepalanya sendiri, tapi dari petugasnya yang selama ini ia minta untuk selalu mengantar Elsie kemanapun ia pergi dan kalaupun Elsie menolak untuk ditemani, petugas tersebut harus tetap mengawasi Elsie walaupun dari jauh sekalipun.

Elsie adalah anak satu-satunya, dan bagaimana bisa ia tidak menginginkan yang terbaik untuk anak semata wayangnya itu? Paulin benar-benar menyayangi Elsie sampai tidak ingin perempuan itu terluka sedikitpun dan memutuskan untuk menyewa seseorang yang bisa menjaganya. Apalagi Berlin Timur adalah lingkungan baru untuk Elsie, ayahnya benar-benar takut akan terjadi apa-apa pada anaknya itu. Dan sekarang pun, Paulin ingin orang yang nantinya menjadi pendamping hidup Elsie adalah lelaki yang terbaik, bukan lelaki yang akhir-akhir ini sering menghabiskan waktu bersama Elsie itu.

Berlin, 1980Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang