02~Olimpiade

50 7 0
                                    

"Ci, lo ikut ga olimpiade itu?"

"Olimpiade apaan?"

"Haiss, olimpiade biologi, yang ada karantinanya itu loh!"

Allicia menerawang. Kini dirinya bersama sahabatnya berkumpul di kantin. Sudah rutinitas mereka walau berada di kelas yang berjauhan.

"Ooh, yang itu? Males, ah!" Ucap Allicia acuh tak acuh sambil menyeruput minumannya.

"Tapi rugi loh kalo gak ikut. Soalnya biaya penginapan karantina ditanggung yayasan sekolah." Ucap Zea.

"Beneran?! Emang di mana sih?"

"Di hotel bintang 4 pokoknya." Jawab Elsa.

"Wowo! Rugi kalo gak ikut! Ikut yok Ci! Plisss...kalian juga ikut dong!" Rengek Cilla menarik-narik tangan Allicia.

"Tapi kalo gak salah, murid di sini yang ditunjuk sekolah buat ngewakili harus ikut. Nggak boleh ngebantah." Ucap Diana memainkan ponselnya.

"Lah, masa gitu sih? Pemaksaan namanya. Kalo anaknya sakit, atau gak dibolehin ortu?" Tanya Allicia menautkan alisnya.

"Nih," Diana menodorkan ponselnya dihadapan Allicia. "Gak boleh ngebantah dengan alasan pribadi kecuali bersangkutan dengan keluarga atau sakit. Sudah, cuma itu doang."

"Yauda, si. Gue mau mau aja.."

"...Lagian buat apa di rumah? Kakak pasti sibuk kuliah. Bokap-Nyokap, ngarep kamu Ci mereka dateng." Batin Allicia menatap kosong gelas yang sudah kosong di hadapannya.

"Ci...lo gapapa kan?" Tanya Cilla khawatir.

"Gak. Ayo balik!" Allicia berdiri dari duduknya dan berjalan duluan.

"Dia gak papa kan? Gak biasanya kayak gitu ke kita." Tanya Diana menatap Allicia khawatir.

"Tenang aja. Bentar lagi dia balik lagi kok. Biasa paling keingetan sama ortu." Ucap Cilla menepuk bahu Diana.

"Gue perhatiin, gara-gara kondisinya dia jadi susah nentuin sifat aslinya." Gumam Zea.

"Hoi! Ngapain di situ ayo!" Seru Allicia sambil berbalik lalu tersenyum lebar.

"Mungkin emang benar. Allicia tersesat dalam dunia dan pikirannya sendiri."

★★★

"Temenin ke kantin yuk!"

"Oh, oke. Kok tumben nggak sama yang lain?"

"Temanku nggak masuk, yang lain juga udah ke kantin tadi. Yaudah kamu aja kalo gitu."

Deg.

"O-oh."

Kita tunggu besok. Lagi-lagi, dengan mudahnya aku dimanfaatkan. Tapi aku tidak tega terhadap mereka. Di saat kau tidak ada teman, di situ kau akan mencari yang baru. Setelah itu kau akan dibuangnya, dan...dilupakan.

Lalu besok pun telah tiba, aku tidak yakin dengan pemikiranku kemarin. Kalau itu benar, tidak mungkin dia mau bersama denganku lagi hari ini.

"Eh?! Kamu itu udah gak masuk berapa hari tau gak?! Orang udah kangen! Ayo duduk sama aku!"

"Loh? Sini loh, gabung!" Anak itu menatapku dengan senyum manisnya.

"O-oke."

Akupun ikut saja, lagipula apa salahnya. Tapi...

"Ngapain sih dia kamu ajakin ke sini?"

"Gapapa lah, sekali-kali..."

Deg.

Bisikan kalian, terdengar jelas di telingaku. Maaf, tapi aku gak butuh orang yang tidak ingin menerimaku. Aku tidak ingin orang menerimaku dengan terpaksa. Jadi...say bye. Senyum manismu tidak akan berpengaruh lagi.

"Lah, kemana anak itu?"

"Yaudah biarin aja lah."

Lagi-lagi. Tapi kenapa aku tetap memaafkan mereka?

★★★

"...ia..cia...ALICIA!"

"Eh?! Apa?"

"Lo ketiduran tadi, terus Pak Diki baru aja dateng. Noh, untung gue bangunin." Cilla menunjuk seorang pria berperawakan tinggi dan berwajah tampan walau sudah menginjak usia 35 tahun.

"O-oh, thanks." Allicia menegakkan tubuhnya lalu merapikan tataan rambutnya yang dibuat ekor kuda.

"Siang anak-anak. Kalian tentunya sudah diberitahu Pak Arif tentang olimpiade Biologi-Fisika tingkat nasional. Dan pihak sekolah memilih tim dari beberapa anak di kelas ini yang wajib mengikuti olimpiade tersebut." Ucap Pak Diki dengan tegas.

"Baik, yang saya panggil akan menjadi satu tim, dimohon untuk tidak menolak dan harap ke ruangan D-1 untuk membahas kelanjutannya."

"Siapa ya kira-kira?"

"Tauk sih. Tapi mereka bakal beruntung karena nggak bayar sama sekali."

"Diana Aurelia, Faisal Narkha, Alvaro Michallevy, Allicia Reville, Anatasha Priscilla, dan Rafalnd Dirta. Dimohon ke ruangan D-1 setelah pulang sekolah."

"Eh?! Gue?" Tanya Allicia dan Cilla berbarengan dan saling menatap satu sama lain.

"Kok? Kebetulan banget nih ya?" Tanya Cilla tersenyum lebar.

"Hm? Tadi gue denger Fadilla ngomong kalo yang kepilih sama sekali gak bayar. Tapi bukannya emang gak bayar ya?" Tanya Allicia menatap surat undangan dari sekolah yang baru saja dibagikan Pak Diki.

"Gak gitu Ci. Orang yang bukan diundang secara langsung tetap bayar untuk pendaftaran olimpiade ini."

"Tapi kok mereka ngomongnya kayak seakan kita beruntung banget."

"Jelas aja, pandaftaran olimpiade elit ini mencapai 500 ribu. Belum lagi konsumsi saat olimpiade berlangsung. Jadi total 800 ribu."

"Gila! Sinting emang. Kok konsumsi bisa 300 gitu?"

"Olimpiadenya 3 hari. Wajar aja sih. Tapi kalo udah keundang sendiri, free aja."

"Gila memang! Hampir 1 juta buat olimpiade doang."

"Ya gitu Ci, orang udah tingkat nasional."

Allicia memandang kertas di hadapannya. Setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya juga. "Kita coba sekali lagi, tidak apa kan?"

★★★

Rafan menatap datar surat undangan yang dipegangnya. Ia mendesah pelan lalu menaruhnya di atas meja belajarnya.

Ia berjalan menuju tempat tidurnya lalu berbaring di atasnya. Rafan teringat ucapan Pak Diki saat bertemu di D-1 tadi.

"Kamu tahu di sini wajib kecuali itu kepentingan pribadi yang mendesak."

"Saya tahu, tapi apa tidak bisa saya tolak?"

"Maaf, tapi kalau itu tidak terlalu penting kami tidak bisa mengizinkannya."

"Haah...sekarang bagaimana?"

∞∞∞

With You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang